TEMPO.CO, Jakarta - Penulis sastra, kolom, dan wartawan, F. Rahardi, menerbitkan kembali novel keempatnya yang berjudul Ine Pare (Ibu Padi). Novel ini diluncurkan di Gedung Obor, bertepatan dengan ulang tahun sang penulis hari ini, 10 Juni 2015.
Novel ini merupakan sebuah novel berlatar belakang tradisi budaya dan sejarah Nusa Tenggara Timur, khususnya kehidupan masyarakat Lio dan Flores. Ine Pare menceritakan hubungan antara Ine Puu dan Ine Pare, ramalan Burung Gaguriwa yang masuk dalam diri Ine Pare.
Rahardi juga membalut kisah hasrat cinta Bapa Angkasa (Dua Lulu Wula) dan Ibu Pertiwi (Nggae Wena Tana). Keduanya menjelma dalam diri Ine Pare dan Ndale yang harus rela berkorban. Dari sinilah konon padi menyebar ke seantero Lio dan Nusantara.
Pengajar sastra Universitas Indonesia, Melani Eka Budianta, menilai novel terbaru F. Rahardi ini berbeda dengan novel-novel sebelumnya. “Baru pertama kali dia mengangkat mitos (legenda penciptaan padi dan legenda penciptaan) dengan gaya serius,” ujar Melani, yang disampaikan penulis Eka Budianta saat bedah buku novel Ine Pare di Gedung Obor, Rabu, 10 Juni 2015.
Biasanya, Rahardi menggarap suara rakyat kecil atau menyindir kaum elite secara karikatural. “Novel ini sepenuhnya epik, atmosfer mistis dan warna lokal yang kuat,” katanya lagi. Melani juga mengatakan F. Rahardi dikenal sebagai penyair yang berani “kurang ajar” terhadap tatanan normatif.
Cobalah tengok cerpen, kumpulan cerpen, dan novel F. Rahardi sebelumnya. Yaitu kumpulan puisi Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990), Tuyul (1990), Pidato Akhir Tahun Sang Germo (1997), Migrasi Para Kampret (1993), Kentrung Itelile (1993), Negeri Badak (2007), Novel Lembata (2008), Ritual Gunung Kemukus (2008), dan Para Calon Presiden (2009).
Nama Rahardi juga mencuat dan menjadi terkenal ketika dia berniat mendatangkan belasan pekerja seks komersial ke Taman Ismail Marzuki saat hendak membacakan puisi Soempah WTS. “Saat itu dilarang oleh Bu Toety Heraty (saat itu Toety menjabat Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta), ya, sudah. Mereka batal datang tapi masih boleh baca puisi,” tutur F. Rahardi kepada Tempo. Dia bahkan mengajukan tuntutan agar Dewan Kesenian Jakarta mengganti rugi biaya untuk mendatangkan para PSK sebesar Rp 1.563.000.
Melani juga menilai novel ini terasa lebih berat dan melelahkan dibanding novel sebelumnya. Rahardi menulis novel berbasis riset yang cukup ketat ditambah pengetahuannya tentang berbagai hal, terutama soal cocok tanam. Ada pula dimensi sosial historis lokal dan global dalam novel mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trubus ini.
Novel ini dikemas setebal 284 halaman dan diterbitkan Penerbit Nusa Indah. Sastrawan ini enggan berkomentar ketika diminta menjawab beberapa penilaian. “Saya percaya, karya sastra itu otonom. Penulis mati ketika karyanya sudah keluar,” ucapnya.
DIAN YULIASTUTI