TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Perkumpulan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Dr. Darmeizer, mengatakan, saat ini diduga ada sekitar 2,9 juta penderita Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) di Indonesia. "Faktor risiko utama PGTA adalah hipertensi dan diabetes melitus," kata Konsultan Ginjal Hipertensi ini, di Jakarta, Sabtu 8/4.
Baca: Banyak Mengkonsumi Makanan Berpengawet, Resiko Gagal Ginjal
Darmeizer menjelaskan meningkatnya jumlah penderita hipertensi dan diabetes sejak tahun 2000-2015 juga menyebabkan peningkatan pasien gagal ginjal. "Sekitar 36 persen penderita hipertensi dan 25 persen penderita diabetes akan menderita gagal ginjal.”
Ketika sudah terjadi kerusakan ginjal, kata Darmeizer, maka tidak akan dapat dikembalikan atau disembuhkan karena sifatnya yang progresif. Jika dilakukan pemeriksaan dan ditemukan kebocoran albumin dan protein, serta fungsi ginjal kurang dari 60 persen selama 3 bulan berturut-turut, maka sudah masuk kriteria penyakit ginjal kronik.
"Ada lima stadium PGK dan jika fungsi ginjal kurang dari 15 persen maka sudah masuk stadium akhir atau gagal ginjal," kata Darmeizar.
Tingginya prevalensi penderita penyakit ginjal kronik (PGK) di Indonesia belum dibarengi dengan pelayanan terapi yang optilmal. Saat ini diperkirakan prevalensi penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia mencapai 2 per 100.000 penduduk.
Baca: Keunggulan Cuci Darah Lewat Perut bagi Penderita Ginjal ...
Adapun terapi yang tersedia khususnya untuk penyakit ginjal kronik yang sudah mengarah ke Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) adalah terapi hemodialisa (cuci darah), Continuous Ambilatory Peritoneal Dialisys (CAPD atau cuci darah melalui perut), atau transplantasi ginjal. Namun hanya sekitar 60% yang dapat mengakses layanan dialisis dan hanya 10% yang menjalani terapi sampai tuntas.
Menurut Darmeizar, Hemodialia dianjurkan dilakukan ketika penyakit ginjal kronis sudah memasuki stadium 4. "Sayangnya pasien di Indonesia kebanyakan datang sudah stadium 5 dan baru memulai terapi".
Selain itu, masalah lain yang muncul adalah terbatasnya jumlah rental unit mesin, baik untuk hemodialisa maupun cuci darah via perut. Di Indonesia saat ini baru ada 352 unit, atau sangat tidak cukup untuk semua pasien PGTA di Indonesia.
Konsultan Ginjal Hipertensi RSUD dr Soetomo, Dr. Pranawa, mengatakan terapi hemodialisa maupun CAPD sama-sama berbiaya besar. Oleh karena itu, dia menyarankan, langkah yang paling bijaksana adalah mengendalikan faktor risiko terutama hipertensi dan diabetes.
Menurutnya, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan hipertensi dan diabetes dengan obat terbaik, yang sering dikatakan mahal, masih jauh lebih murah dibandingkan biaya untuk dialisis. "Jika penderita hipertensi dan diabetes dapat dikendalikan, artinya tekanan darah dan kadar gula darah terkontrol sesuai target sehingga tidak sampai menjadi komplikasi ginjal, maka setidaknya 70 persen penyakit ginjal kronis dapat dicegah," kata Pranawa.
AFRILIA SURYANIS