TEMPO.CO, Jakarta - Permainan “Pukul Guru Anda” menghebohkan warganet karena mengandung konten kekerasan anak atau murid terhadap seorang guru. Permainan tersebut mulai ramai diperbincangkan setelah terjadinya kasus penganiayaan murid pada guru yang terjadi di Jawa Timur.
Menurut deskripsi dalam laman resmi Poki, pembuat permainan “Pukul Guru Anda”, pemain diinstruksikan untuk menggunakan benda-benda yang ada di dalam kelas. Permainan yang disebut dapat mengatasi stres itu mengutamakan tema kekerasan yang brutal. Pemain dapat menggunakan benda dalam kelas, seperti buku, stapler, payung, dan sebagainya, untuk menyiksa sang guru. Baca: 8 Gejala Kanker Paru, Kelelahan Hingga Perubahan Suara
Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah menindaklanjuti protes dari masyarakat terhadap kehadiran permainan ini pada Jumat, 2 Februari 2018. Pemerintah menginstruksikan produsen untuk menutup permainan dalam waktu 2x24 jam.
Menurut psikolog anak, Ika Putri Dewi, permainan dengan konten kekerasan dapat mendorong munculnya agresivitas pada anak dan mempengaruhi perilakunya sehari-hari. Dengan adanya permainan itu, dikhawatirkan muncul pemikiran pada anak bahwa kekerasan itu boleh dilakukan. Baca: Bukan PNS, Hotman Paris: Pengacara Boleh Show Off dengan Pacar
“Intinya, memang pasti bisa mendorong dan memicu agresivitas pada individu (anak). Dia belajar, ‘oh, ini (bertindak kasar kepada guru) diperbolehkan ya’. Dia akan berpikir kalau in real word, ada (kekerasan) seperti ini,” kata Ika ketika dihubungi Tempo pada Senin, 5 Februari 2018.
Ika menjelaskan, cara yang paling tepat untuk mencegah maupun mengatasi tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak balita adalah mengajarkan mereka cara berempati. “Pada anak balita, biasanya kita mencoba mengasah mereka untuk bisa lebih berempati, khususnya empati terhadap korban,” kata Ika. Baca: Kylie Jenner Lahiran, ini Gaya Pengumuman The Kardashians
Ika menambahkan anak balita masih bersifat egosentris sehingga hanya dapat berpikir dari sisinya sendiri. Karena itu, sulit bagi mereka untuk mencoba berpikir dari sisi orang lain.
Ika memberikan beberapa tips komunikasi untuk meningkatkan rasa empati anak terhadap lingkungan sekitar. “Kamu tau nggak? Ketika kamu pukul, dia itu ngerasa sakit, lho. Sama, kan, kayak ketika kamu dipukul,” ujar Ika.
“Kalau kamu dorong temanmu kayak gitu, temanmu bisa jatuh, bisa berdarah seperti kamu. Kalau berdarahnya kebanyakan, bisa dibawa ke rumah sakit,” kata Ika menjelaskan cara meningkatkan empati pada anak. Baca: Fitt, Kunci Badan Atletis tanpa Olahraga ke Gym
Ika menambahkan, anak yang sudah melewati usia balita lebih mudah untuk diajarkan cara berempati. Sebab, perlahan-lahan anak mulai mampu berpikir secara abstrak dan mulai meninggalkan egosentrisnya. Kemampuan memahami dampak perilakunya bagi orang lain pun turut meningkat setelah melewati masa balita.
Menurut Ika, kekerasan yang dilakukan anak, baik verbal maupun fisik, merupakan hasil dari meniru hal-hal yang ia temui di lingkungannya. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan lingkungan sekitar anak untuk menjaga perilaku serta perkataan berbau negatif.
ANTARA | PIKO | MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA