TEMPO.CO, Jakarta - Remaja senang sekali melakukan diet. Riky Tan ingat saat melakukan diet karena lingkungan sosialnya. Pekerja wirausaha itu masih duduk di semester 3 di bangku kuliah saat 7 tahun lalu melakukannya. Ia mengaku tidak percaya diri dengan tubuhnya . Wanita asal Riau ini kagum melihat teman-temannya sesama perempuan yang sangat cantik dan menjaga penampilannya. "Saya sempat tidak percaya diri dengan diri saya sendiri, mungkin selama ini tinggal di daerah berasa biasa aja liat cewek-ceweknya, tetapi sejak pindah ke Jakarta saya melihat mereka cantik dan menjaga penampilan semua," kata Riky yang berhasil menurunkan berat badannya dari 63 kilogram menjadi 50 kilogram dalam waktu satu tahun.
Baca: 4 Hobi yang Wajib Dipelajari Remaja
Masalah sosial memang salah satu hambatan para remaja dalam menjaga kesehatan diri. Tidak hanya karena tekanan lingkungan, tidak jarang mereka kerap mengikuti tokoh selebriti pujaan mereka tanpa memahami kecukupan gizi yang mereka butuhkan. Akibatnya, berbagai masalah gizi pun muncul.
Ilustrasi remaja menolak makan. shutterstock.com
Pemerintah mengatakan salah satu masalah kesehatan remaja saat ini adalah double burden, yaitu masalah kekurangan gizi juga kelebihan gizi. Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan bahwa persentase daerah Indonesia yang memiliki persentase remaja yang sangat kurus adalah daerah Nusa Tenggara Timur dengan 5,9 persen. Ada pula empat daerah yang mengalami persentase remaja dengan obesitas tertinggi, yaitu 2,6 persen. Keempat daerah itu adalah DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungkas Bahjuri Ali mengakui selama ini pemerintah lebih fokus pada kesehatan ibu dan anak sejak 1990 hingga program Millenum Development Goals berakhir pada 2015. "Isu gizi remaja termasuk ilmu baru bagi kami," kata Pungkas saat dihubungi Senin 23 Agustus 2018.
Baca: Banyak Remaja Terinspirasi Bibir ala Kylie Jenner, Ini Kata Ahli
Pemerintah, kata Pungkas, baru sadar bahwa sudah saatnya memikirkan kesehatan remaja saat merinci Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. "Indonesia akan menghadapi bonus demografi saat jumlah masyarakat usia produktif, di antaranya remaja, akan lebih banyak di banding dengan masyarakat non produktif," kata Pungkas yang mengatakan sudah memasukkan unsur kesehatan remaja pada RPJMN 2015-2019.
Dalam rencana lima tahunan itu, target pemerintah adalah hingga 2019, sebanyak 45 persen puskesmas di Indonesia menyelenggarakan kegiatan Kesehatan Remaja. Ada pula target 30 persen remaja puteri harus mendapat tablet penambah darah untuk mencegah terjadinya anemia. Kementerian Kesehatan mengklaim sudah ada 4.100 lebih atau sekitar 60an persen pusat kesehatan masyarakat yang memberikan pelayanan kesehatan remaja itu. "Kami juga lakukan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja ke sekolah-sekolah. Programnya mengukur tinggi badan anak dan remaja di SD, SMP dan SMA setahun sekali serta melakukan penyuluhan antar sekolah," kata Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Eni Gustina pada 24 Agustus 2018.
Baca: Beri Pendidikan Seks pada Remaja, Harus Ditakut-Takuti?
Kementerian Kesehatan, kata Eni, juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama serta Kementerian Dalam Negeri untuk wajib menyediakan fasilitas olahraga di setiap sekolahnya. "Sekolah wajib menyediakan fasilitas olahraga. Bisa dalam bentuk lapangan badminton atau lapangan lain, minimal anak bisa melakukan 4 L, yaitu lempar, lompat, loncat dan lari," kata Eni yang berharap para remaja itu bisa bergerak aktif.