Berbagai kegiatan sehat di sekolah itu nantinya akan dinilai dalam ajang lomba sekolah sehat setahun sekali. Selama ini penilaian yang diberikan dalam ajang itu adalah aktivitas dan fasilitas setiap sekolah. "Mulai 2019 atau 2020, penilaian akan kami ubah untuk melihat kualitas anak sekolahnya apakah ada yang kekurangan atau kelebihan gizi," katanya.
Eni mengakui masih ada kekurangan dalam mengingatkan remaja terkait gaya hidup dan nutrisi sehat. "Untuk remaja, perlu ada guru yang bisa mengedukasi kesehatan kepada para muridnya. sumber daya manusia di puskesmas kami terbatas," kata Eni.
Project Manager Young Health Programme (YHP) dari Yayasan Plan International Indonesia (YPII) Fahmi Arizal mengatakan masalah yang dihadapi remaja itu rata-rata berasal dari keluarga. "Sehingga apakah asupan remaja itu baik atau tidak itu tergantung komunikasi di keluarganya," kata Fahmi.
Baca: Jerawat dan 2 Masalah Ini Kerap Menghantui Usia Remaja
Fahmi pun mendukung adanya konsep keluarga dalam program utama Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang digadang-gadangkan pemerintah. Pemerintah memiliki banyak program bagus, namun ada beberapa tantangan yang perlu diperbaiki dalam implementasi program itu. Misalnya dalam konsistensi dan pengawasan. Fahmi mengatakan masih banyak petugas puskesmas yang tidak terinformasi dengan baik tentang kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, ia pun menilai masih ada tenaga kesehatan di puskesmas yang kurang memahami masalah remaja. "Bayangkan, kami sudah pernah berikan pelatihan 1-2 tahun, tiba-tiba petugas itu harus dirotasi ke tempat lain. Akibatnya kami perlu melakukan orientasi tentang remaja dari awal lagi kepada petugas baru," katanya.
Ilustrasi remaja. Shutterstock
Implementasi yang menjadi kendala lain adalah dalam koordinasi antara lembaga. Ketika Kementerian Kesehatan kesulitan sumber daya manusia untuk melakukan penyuluhan, maka guru dan kurikulum sekolah yang ada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya memiliki peran untuk mengatasi masalah itu. Sayangnya proses kolaborasi itu tidak bisa cepat berhasil. "Saya pernah pengalaman untuk memasukan kesehatan reproduksi remaja dalam kurikulum dan penting diajarkan para guru. Tapi penolakan dan hambatan birokrasi masih ada di banyak titik," kata Fahmi yang pernah menjadi penyuluh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.
Selain pemerintah, Fahmi berpendapat butuh juga untuk mengajak orang tua untuk ikut serta menjamin kesehatan remaja seperti program utama pemerintah. Namun tantangan lain pun hadir dari masalah sosial. Saat ini semakin banyak orang tua yang bekerja dan tidak pernah di rumah. Akhirnya interaksi antara orang tua dan anak pun sulit dilakukan sehingga tidak jarang remaja mengikuti gaya hidup atau berteman dengan orang yang tidak tepat. "Masalah remaja itu berasal dari keluarga, bagaimana komunikasi dia di rumah, apakah dia mendapatkan pendidikan tentang kesehatan remaja di keluarga?" kata Fahmi yang mengakui keluarga adalah pondasi utama untuk kesehatan remaja.
Ahli gizi Tan Shot Yen mengatakan gizi pada remaja adalah cermin sampai atau tidaknya pesan gizi kepada keluarga dan manusia calon pembentuk keluarga. Tan mengatakan diet yang dilakukan remaja seperti Rika memang banyak dilakukan remaja, tapi masyarakat perlu ingat, untuk mendapatkan bentuk tubuh atau berat badan proporsional itu bukan terjadi karena diet. “Tapi karena pemasukan dan pengeluaran kalori yang imbang atau disesuaikan dengan kebutuhan tubuh,” kata Tan.
Masalah kekurangan gizi atau juga kelebihan gizi yang dialami remaja di berbagai daerah di Indonesia bisa mengakibatkan anemia. Anemia itu bisa memperburuk kondisi kesehatan seseorang, khususnya anak perempuan, ketika mereka menjadi ibu nanti. Alasannya mereka dikhawatirkan melahirkan anak yang stunting.
Tan menyarankan agar masyarakat mengetahui mengapa orang bisa anemia. Menurut Tan, orang kurus maupun orang obesitas bisa mengalami obesitas. “Jika asupan gula garam lemaknya tinggi, tapi tidak kaya akan protein bahkan tidak punya kandungan zat besi yang cukup maka orang yang obesitas pun bisa mengalami anemia,” kata Tan.
Selain mengkonsumsi asupan kaya zat besi, untuk berperang melawan anemia pada remaja,Tan juga menyarankan agar anak remaja juga perbanyak makan sayur dan buah. “ Vitamin C, sayur, dan buah mempercepat penyerapan zat besi. Sebaliknya, kafein dalam teh dan kopi, serta kalsium dan serat berlebihan bisa menghambat penyerapan zat itu,” kata Tan yang tidak menyarankan makan nasi berbarengan dengan teh, seperti yang kebanyakan dilakukan para remaja.
Baca: Remaja Butuh Ruang Aman agar Tidak Bunuh Diri
Eni setuju dengan pentingnya mengkonsumsi sayur dan buah lebih banyak untuk remaja. Bila ada remaja yang kesulitan makan sayur dan buah, pemerintah sedang mengkampanyekan makan daun kelor yang ada dalam bentuk kapsul atau pun sayur. “Daun kelor, yang dulunya dianggap daun penuh mistis, ternyata mengandung zat besi yang tinggi. Kita Manado sudah biasa makan itu, sehingga anemia di daerah itu sangat rendah,” kata Eni yang berharap masyarakat daerah lain mengikuti kebiasaan baik masyarakat Manado ini.