TEMPO.CO, Jakarta - Total korban jiwa akibat wabah virus corona telah mencapai setidaknya 425 orang di China dan belasan ribu yang terinfeksi hingga 3 Februari 2020 sejak pertama kali dilaporkan pada Desember 2019. Sejumlah pakar penyakit bahkan memproyeksikan ada kemungkinan 75.000 atau lebih kasus aktual akibat wabah virus ini karena kemungkinan kurang akuratnya penghitungan dari daerah-daerah tertentu di Cina.
Di Cina mungkin ada gua yang menjadi sumber virus corona jenis baru, yang telah merenggut ratusan nyawa dan meresahkan berbagai belahan dunia. Peter Daszak, seorang ahli ekologi penyakit di EcoHealth Alliance, mungkin paham soal ini.
Ia dan timnya telah berkelana ke gua-gua di Cina dan seluruh dunia untuk mencari kelelawar dan patogen yang dihantarkan satwa liar ini.
“Kami masuk ke dalam gua-gua, tidak hanya berjalan masuk. Kami mengenakan pelindung seluruh tubuh, masker pernapasan, sarung tangan, dan semua peralatan yang tepat,” ungkap Daszak.
Apa yang Daszak dan ilmuwan lain di seluruh dunia simpulkan adalah bahwa cepatnya penyebaran pemukiman manusia di daerah yang dulu terpencil telah membuat manusia semakin dekat dengan hewan-hewan pembawa virus. Lebih banyak manusia yang bertemu dengan lebih banyak hewan pembawa penyakit adalah suatu wadah peleburan virus yang sempurna.
“Seiring dengan meningkatnya populasi manusia, jumlah peristiwa tersebut meningkat secara eksponensial. Ini adalah produk langsung dari aktivitas manusia. Dan ini adalah perhitungan matematika yang sederhana bahwa akan ada lebih banyak wabah seperti virus corona baru di masa depan,” terangnya.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat memperkirakan bahwa tiga dari setiap empat penyakit menular yang muncul pada manusia pertama kali berasal dari hewan. Sementara itu, kelelawar mengandung proporsi tertinggi dari virus mamalia yang cenderung menginfeksi manusia, menurut penelitian yang diterbitkan pada 2017 oleh Daszak dalam jurnal ilmiah Nature.
“Saya memiliki keyakinan 90 persen bahwa itu adalah virus yang ditularkan kelelawar,” ujar Linfa Wang, yang mengepalai program penyakit menular di Duke-National University of Singapore Medical School.
Wang telah mempelajari asal-usul kelelawar atas virus manusia selama beberapa dekade. Salah satu koleganya di Institut Virologi Wuhan menemukan bahwa virus corona jenis baru lebih dari 96 persen identik secara genetik dengan virus kelelawar dari provinsi Yunnan di Cina Selatan, menurut laporan yang diterbitkan dalam jurnal Nature pada Senin.
Studi tersebut menemukan bahwa virus corona baru ini masih kerabat dengan virus penyebab SARS. SARS, atau Sindrom Pernapasan Akut Parah, disebabkan oleh virus corona lain yang menewaskan lebih dari 800 orang di seluruh dunia pada 2003-2004.
Virus corona jenis baru juga membajak reseptor yang sama pada sel-sel paru-paru yang digunakan virus penyebab SARS untuk menembus sel-sel jauh di dalam paru-paru. Persisnya bagaimana virus corona jenis baru itu telah melanda Cina dengan membuat lompatan dari hewan ke manusia tetap menjadi misteri.
Namun, para ilmuwan mengatakan hal ini terkait erat dengan ekspansi di perkotaan yang tak terkontrol dan pasar dengan udara yang terbuka di Cina.
"Hewan-hewan ini hidup,” ujar Christian Walzer, direktur eksekutif untuk kesehatan di Wildlife Conservation Society. "Anda akan melihat seekor burung di atas babi lokal, dan Anda mungkin juga melihat ular dan kelelawar, semuanya ditumpuk bersama-sama di dalam kandang berkawat. Cairan dan sekresi yang sarat virus dapat bercampur, membantu menciptakan virus baru, terutama ketika hewan disembelih tepat di depan pelanggan.”
Kini, dengan meledaknya populasi manusia dan akses untuk maskapai penerbangan murah dan kereta cepat, virus kelelawar dari kedalaman hutan dapat menyebar ke setiap sudut dunia hanya dalam hitungan hari. Lebih dari 49 dari 99 pasien terinfeksi virus corona baru pada periode awal wabah terkait dengan sebuah pasar di Wuhan. Pasar ini menjual hewan-hewan liar dan sekarang sudah ditutup.
Wildlife Conservation Society menyerukan larangan adanya pasar macam itu di seluruh Asia. Menurut Walzer, jika pasar-pasar tersebut tidak ditutup, virus baru yang mematikan akan muncul setiap beberapa tahun.
Selama bertahun-tahun, penelitian mengenai virus corona dipandang ketinggalan. Wabah SARS hampir dua dekade lalu tiba-tiba mengubah keadaan.
Pandemi SARS membantu mendorong pencarian di seluruh dunia untuk virus lain yang dapat menular ke manusia setelah kontak dengan kotoran, air liur, ataupun lendir hewan. Penelitian ini seringkali mengarah pada kelelawar yang terinfeksi sebagai sumbernya.
Salah satu petunjuk awal peran kelelawar berasal dari wabah virus Nipah yang menginfeksi otak di Malaysia pada 1998 yang menewaskan lebih dari 100 orang. Ternyata kelelawar pemakan buah-buahan yang membawa virus itu memakan mangga yang menggantung di atas kandang babi, menurut EcoHealth Alliance.
Tampaknya kelelawar menjatuhkan buah ke kandang dan menginfeksi babi yang kemudian meneruskan patogen ini kepada manusia. Hingga saat ini, para peneliti telah mengidentifikasi setidaknya 200 virus corona pada kelelawar di seluruh dunia, menurut sebuah tinjauan terbaru dalam jurnal Virus.
Dalam studi lain, para peneliti dari Universitas Columbia di Amerika Serikat dan lainnya menemukan 12 virus corona baru dalam 606 sampel kelelawar di Meksiko. Menariknya, karena keunikan dalam sistem kekebalan tubuh mereka, kelelawar tidak menderita sakit dari segudang virus yang mereka simpan.