TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua terutama ibu, sangat rentan mengalami parental burnout, yaitu situasi tingkat lanjut dari stres. Parental burnout juga bisa terjadi ketika stres yang dialami orang tua dalam jangka panjang. Biasanya parental burnout terjadi ketika orang tua sudah merasa lelah secara fisik maupun mental dengan berbagai aktivitas dan tanggung jawab. Untuk mengatasinya, orang tua perlu menyisihkan sedikit waktu untuk me time, setidaknya untuk beristirahat sejenak, melepaskan diri dari berbagai gangguan walau hanya sesaat.
Psikolog yang juga Spesialis Pendidikan Wahana VIsi Indonesia Saskia Panggabean mengatakan, di masa belajar dari rumah karena pandemik, orang tua mau tidak mau harus beradaptasi. “Beradaptasi dengan situasi baru dengan segala peran dan tugasnya itu tidak mudah, sehingga orang tua rentan mengalami stres bahkan burnout. Sumbu menjadi pendek, dan akhirnya, disadari atau tidak, orang tua kerap melampiaskannya ke anak,” kata Saskia dalam acara Talkshow Online yang membahas mengenai Parental Burnout pada Rabu 23 September 2020. Selain Saskia, hadir pula psikolog Anak dan Remaja dari Rumah Dandelion, Agstried Elisabeth dan penyiar sekaligus public figure Cisca Becker.
Agstried menjelaskan, parental burnout adalah ketika orang tua mengalami lelah emosi jiwa raga dalam hal mengasuh anak. “Ciri-ciri orang tua mengalami parental burnout adalah ketika merasa lelah terus menerus walaupun sudah beristirahat. Ciri yang kedua, yaitu detachment, yaitu merasa jauh dengan anak walaupun sedang menghabiskan waktu dengan anak. Ciri yang lain adalah merasa tidak mampu, yang berujung dengan merasa bahwa kita bukan orangtua yang baik,” tutur Agstried.
Biasanya parental burnout ini rentan terjadi karena keinginan untuk menjadi orang tua yang sempurna. Padahal, pada kenyataannya, tidak ada orang tua yang sempurna. “Tidak ada yang bisa menjadi orang tua yang sempurna. Tapi ada banyak cara untuk menjadi orang tua yang baik,” kata Agstried.
Hal lain yang membuat orang tua rentan terhadap parental burnout adalah kurangnya kemampuan dalam manajemen stres, kurangnya dukungan entah dari pasangan atau lingkungan, kurang teredukasi tentang mengasuh anak, dan tipisnya batasan antara kerja di kantor dan di rumah. Di mana ketika pandemi Covid- 19 ini berlangsung, batasan tersebut telah hilang.
Untuk mengatasi parental burnout, pertama-tama orang tua harus memiliki self-compassion terhadap diri sendiri dengan tidak terlalu memaksakan diri. Kedua, penting bagi orang tua mendapat dukungan dari orang terdekat dan lingkungan. “Banyak orang bilang, kalau mencintai itu harus susah payah. Kalau tidak perjuangan, tandanya nggak cinta. Padahal, mencintai itu membutuhkan energi. Padahal energi manusia terbatas. Untuk itu me-time diperlukan, untuk bisa mengisi kembali energi yang habis. Kalau tidak diisi ulang akhirnya bisa berakibat fatal, orang jadi merasa 'terjebak'. Dengan me-time, kita mundur 2 langkah tapi untuk bisa lari 4 langkah,” kata Agstried.
Cisca Becker mengakui orang tua rentan mengalami parental burnout. “Pasti mengalami sih, ada masa-masa level stresnya makin tinggi, bahkan sejak sebelum pandemi. Yang sering banget jadi alarm itu kalau saya udah mulai gampang marah, walaupun sedang bersama anak. Kalau sudah begitu, mulai memilah-milah, mana yang bisa diprioritaskan mana yang tidak, mana yang bisa dioper ke pasangan atau orang lain,” katanya.
Untuk mengatasi parental burnout, Cisca pun menyisihkan sedikit waktu untuk me-time tanpa gangguan. “Namanya manusia kan, bukan robot, jadi bisa lelah. Me-time itu memang perlu. Bukan untuk diri sendiri, kita perlu mengisi ulang fisik dan mental, supaya bisa mencintai keluarga dengan lebih baik lagi. Me time tidak usah muluk-muluk, membaca buku 1 jam saja tanpa diganggu udah lumayan. Waktunya tentu dikomunikasikan dengan pasangan,” kata Cisca.