TEMPO.CO, Jakarta - Gangguan tidur dialami oleh banyak orang, apalagi di masa pandemi Covid-19 ini. Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania, mengatakan ada sejumlah indikator yang menandakan tidur berkualitas, di antaranya mampu terlelap kurang dari 30 menit.
"Tidur yang berkualitas misalnya dapat tertidur dalam waktu 30 menit atau kurang," ujar Inggrid.
Tanda lain tidur telah memiliki kualitas baik adalah tidak terbangun di tengah malam. Jikapun terbangun, maka hal itu tidak terjadi lebih dari satu kali. Tidur pun dapat dikatakan berkualitas apabila setelah terbangun di malam hari dapat kembali terlelap dalam waktu 20 menit setelah terbangun.
Terkait kuantitas tidur, Inggrid mengatakan kebanyakan orang dewasa membutuhkan 7-9 jam tidur di malam hari. "Tetapi kebutuhan kuantitas tidur setiap individu bisa saja berbeda. Ada yang butuh 6 jam, ada pula yang butuh 10 sampai 11 jam tidur di malam hari," kata Inggrid.
Sementara itu, praktisi kesehatan tidur dr. Andreas Prasadja mengatakan kualitas tidur yang baik berperan penting pada kesehatan tubuh dan produktivitas sehari-hari. Namun, pada kenyataannya banyak orang dewasa saat ini, terutama di masa pandemi COVID-19, mengalami sulit tidur karena stres, kesibukan yang tinggi, serta pola hidup tidak sehat. Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan salah satu masalah kesehatan yang banyak dikeluhkan oleh penyintas COVID-19 adalah gangguan tidur.
“Gangguan tidur yang dialami orang dewasa umumnya ditandai dengan rasa mengantuk di siang hari, kesulitan tidur di malam hari, sering terbangun di tengah malam, serta siklus tidur dan bangun tidak teratur," kata Andreas.
Baca juga: Jangan Remehkan Gangguan Tidur, Insomnia sampai Kelumpuhan
Andreas juga mengatakan insomnia dan hipersomnia merupakan dua penyakit gangguan tidur yang berbeda.
“Insomnia gangguan tidur di mana penderitanya sulit tidur. Sebaliknya, hipersomnia membuat penderitanya mengalami kantuk berlebihan di siang hari. Hal itu membuat tidur malam mereka lebih lama,” katanya.
Penderita insomnia pada saat tidur cenderung mengalami kecemasan, sulit untuk terlelap, bahkan akan mudah terbangun dan terjaga terus-menerus. Sedangkan penderita hipersomnia sulit untuk mengatasi rasa kantuk, bahkan bisa tidur dalam situasi apapun dan di mana pun. Baik insomnia dan hipersomnia efeknya sangat berbahaya pada pasien.
Bila dibiarkan terlalu lama akan membuat metabolisme seseorang berkurang, kekuatan otak menurun, kemudian gangguan pada mental. Andreas mengatakan, sebagi langkah awal untuk penyembuhan penyakit tersebut harus dicari faktor dan sumber gejala.
“Bila sudah ditemukan sumber yang menjadi masalah dalam gangguan tidurnya, maka pasien haruslah meningggalkan kebiasaan buruk tersebut. Itu merupakan cara yang paling sederhana untuk menyembuhkan. Namun bila terlalu sulit, pilihan berkonsultasi dengan dokter adalah yang paling tepat,” tutur Andreas.
BISNIS