TEMPO.CO, Jakarta - Anak-anak petani tembakau itu berbicara dengan lantang di forum Talkshow Berani Berhenti Merokok bersama Anak-anak Petani Tembakau pada Rabu, 16 Juni 2021. Mereka, berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat diundang dalam forum yang digelar oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang secara online.
“Kami anak petani tembakau, kami generasi yang ingin sehat menolak rokok, walau orang tua kami masih menanam tembakau tapi kami bertekad menjadi generasi yang peduli untuk hidup sehat,” kata kumpulan anak-anak petani tembakau itu dengan suara berirama yang tegas dan tak gentar.
“Kami bertekad untuk tidak pernah mencoba merokok atau tidak meneruskan kebiasaan merokok dari orang tua kami meskipun kami anak petani tembakau demi masa depan kami,” ucap mereka mengulangi pernyataan mereka.
Dari data yang ada, prevalensi perokok anak di Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan. Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN, prevalensi perokok anak saat ini mencapai 9,1 persen pada 2019. Ini jelas bukan angka yang bagus lantaran perokok anak bukannya menurun tapi terus meningkat. Sebagai catatan, dalam RPJMN 2014-2019, pemerintah mematok angka prevalensi perokok anak 5,4 persen. Alih-alih turun, laju konsumsi produk tembakau kian tak terkendali.
Iwan, 27 tahun, tengah melipat daun tembakau saat panen di kawasan dataran tinggi Kiarapayung, Kecamatan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, 27 Februari 2021. Petani tembakau sendiri mengecam kenaikan tarif cukai rokok 12,5 persen yang berimbas pada daya serap tembakau di pasar setelah pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau rata-rata tertimbang sebesar 12,5% pada 1 Februari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Karenanya, praktisi kesehatan dari Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC – IAKMI), Sumarjati Arjoso menyangsikan pemerintah bisa menurunkan prevalensi perokok anak sesuai target RPJMN 2020-2024 dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen pada 2024. “Pertanyaannya, mampukah pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen, atau hanya turun 0,4 persen dalam waktu lima tahun?” tanya dia dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 5Juni 2021 melalui webinar.
Persoalannya, kata Sumarjati, amat sulit untuk mengharapkan prevalensi perokok anak menurun jika tak diimbangi dengan regulasi yang mengikat dan tegas dalam mengendalikan konsumsi tembakau. “Selama PP 109/2012 tidak direvisi, maka alat untuk menunjang pencapaian target RPJMN 2020-2024 menjadi sulit,” ujarnya.
Dalam PP 109/2012 tentang Pengaman Bahan yang Mengandung Zak Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih memberikan peluang untuk terjadi pelanggaran dan beratnya mengendalikan konsumsi tembakau. Di antaranya, iklan rokok, sponsor, dan promosi masih dibolehkan, Kawasan Tanpa Rokok yang belum memiliki kepastian hukum, dan peringatan bergambar yang hanya 40 persen dari kemasan, amat jauh dibandingkan Nepal yang memasang peringatan hingga 90 persen.
Sumarjati menekankan, untuk menurunkan prevalensi perokok anak, harus disertai regulasi yang mengikat. Perlu ada revisi regulasi untuk menurunkan laju konsumsi produk tembakau anak. Faktanya, iklan, sponsorship, dan promosi rokok amat berpengaruh dalam merangsang anak untuk merokok.
Seorang wanita melintasi mural bertema ajakan berhenti merokok di Kampung Penas Cipinang, Jakarta, 31 Oktober 2017. Tempo/Fakhri Hermansyah
Sayangnya, pemerintah justru memunculkan ide pengendalian tembakau seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Bahkan, dalam peluncuran Kampanye Berhenti Merokok yang digelar Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia secara webinar pada awal bulan ini, alih-alih menyatakan komitmennya merevisi PP 109/2012, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin justru melemparkan wacana gerakan sosial.
Menurut dia, pendekatan gerakan sosial itu paling efektif lantaran menyentuh hati. “Ada satu yang mesti dilihat bagaimana mengubah program ini, yang dulunya milik pemerintah, WHO, UNION, menjadi satu gerakan, menjadi satu movement, yang dimiliki oleh satu masyarakat terutama anak-anak muda Indonesia,” katanya.
Menteri Budi mengatakan meski ada regulasi pun angka kecanduan merokok terus berjalan. Ia mencontohkan regulasi narkotika dengan ancaman hukuman penjara, tak mampu kenyataan tak mampu membendung masyarakat untuk berhenti mengkonsumsi narkoba.
Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Lisda Sundari mengatakan memang benar gerakan sosial mengambil peran amat penting dalam upaya pengendalian tembakau. “Tapi gerakan sosial itu menjadi rapuh, tidak kuat kalau tidak ada regulasi yang menjadi payung hukum cukup kuat kalau mereka tidak ada kegiatan,” kata Lisda kepada Tempo di Jakarta, 7 Juni 2021.
Apalagi, kata dia, yang dihadapi anak-anak saat membangun gerakan ini adalah industri berhubungan dengan zat adiktif. “Jadi, selain gerakan sosial, juga diperlukan regulasi yang cukup yang mengatur zat adiktif ini. Kalau enggak ada regulasi yang kuat, sama saja menghadap-hadapkan industri dengan masyarakat,” ujarnya.
Lisda menekankan, gerakan sosial untuk mengkampanyekan pengendalian tembakau demi menekan angka prevalensi perokok anak, diperlukan kehadiran negara sesuai kewenangannya yang berfungsi membuat regulasi. Jika dua hal ini ada, yakni gerakan sosial dan regulasi, maka laju konsumsi rokok anak bisa ditekan. Dan tentu, keinginan anak-anak petani tembakau untuk hidup sehat dari paparan asap dan iklan rokok bisa terpenuhi.
Baca juga: Petani Tembakau Minta Pemerintah Penuhi Hak Kesehatan Anak-anak