TEMPO.CO, Jakarta - Mendirikan sebuah bangunan tentunya memperhatikan konstruksi dan arsitekturnya. Salah satu fenomena akibat kesalahan desain sebuah bangunan, yakni Sick Building Syndrome (SBS). Terlebih jika ingin membangun sebuah bangunan yang digunakan banyak orang, misalnya sebuah gedung perkantoran. Pasalnya. komposisi sebuah bangunan yang buruk justru memicu ketidaknyamanan hingga berujung penyakit bagi penghuninya.
Dilansir dari Jurnal Teknik Sipil edisi 3 tahun 2007, Sick Building Syndrome (SBS) adalah suatu kondisi ketika tubuh mengalami gejala gangguan kesehatan ketika beraktivitas dalam sebuah gedung. Beberapa gangguan kesehatan yang terjadi diantaranya sakit kepala, pilek, mual, batuk, bersin-bersin, iritasi hidung, iritasi mata, bintik merah pada kulit, dan gangguan kesehatan lainnya.
Uniknya, keluhan-keluhan tersebut hanya berlangsung ketika seseorang melakukan kegiatan di dalam gedung. Gejala tersebut akan semakin parah apabila semakin lama menghabiskan waktu di dalam gedung. Keluhan-keluhan tersebut akan berangsur membaik setelah meninggalkan gedung, bahkan hilang dengan sendirinya.
Terkadang, terjadi kesulitan dalam mendiagnosis mengenai keluhan-keluhan tersebut sebagai gejala SBS. Hal ini terjadi karena gejala-gejala SBS memiliki kesamaan dengan penyakit flu pada biasanya. Sebagaimana dilansir dari Healthline, terdapat langkah mudah yang dapat dilakukan untuk mendeteksi gangguan-gangguan kesehatan yang terjadi merupakan gejala SBS.
Hal tersebut ditandai dengan keluhan-keluhan tersebut akan berangsur membaik setelah meninggalkan gedung. Gejala akan kambuh apabila kembali ke gedung bersangkutan dan kondisi berlangsung secara berulang. Maka, situasi tersebut dapat dikategorikan sebagai SBS.
Baca Juga:
Menurut berbagai sumber, fenomena SBS dialami oleh pekerja di dalam sebuah gedung perkantoran yang memiliki ventilasi atau arus udara yang buruk. Selain itu, polusi yang terjadi di sekitar gedung, misalnya pencemaran suara yang disebabkan oleh bunyi yang terlalu keras (bising) hingga mengganggu indra pendengaran hingga konsentrasi.
Bisa juga disebabkan oleh polusi udara, seperti asap kendaraan karena letak gedung dekat dengan jalan yang menjadi mobilitas kendaraan. Di samping itu, adanya kontaminasi yang disebabkan oleh kontaminasi bahan kimia, seperti karpet, cat dinding, asap rokok atau kontaminasi biologis yang ditimbulkan oleh bakteri, debu, atau tungau.
Dilansir dari berbagai sumber, terdapat tiga langkah alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala Sick Building Syndrome (SBS). Pertama, istirahat di luar gedung apabila memasuki jam istirahat, seperti makan siang. Kedua, membuka jendela untuk mendapat udara segar dan mengurangi debu di dalam ruangan apabila memungkinkan. Ketiga, mengistirahat mata setelah bekerja di depan layer cukup lama dengan cara mengalihkan pandangan dari komputer.
Keberadaan Sick Building Syndrome (SBS) apabila dibiarkan dapat mengganggu kinerja dan produktivitas kerja karena lingkungan yang tidak sehat di dalam kantor. Pencegahan Sick Building Syndrome (SBS) perlu mendapat perhatian bagi perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Salah satunya menerapkan standar peraturan yang telah ditetapkan dalam mendirikan sebuah bangunan. Tidak berhenti sampai situ, pemeliharaan juga perlu dilakukan terhadap gedung.
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca: Sering Berlama di Ruangan AC atau Ruangan Berpendingin Cermati Dampaknya