TEMPO.CO, Jakarta - Semua orang berisiko diabetes, terutama diabetes tipe 2. Kepala Puskesmas Kelurahan Tugu Utara 3, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dr. Endang Sulistyani, menyebut tiga gejala klinis diabetes yang spesifik dan harus diwaspadai, terutama pada orang-orang dengan faktor risiko tinggi.
“Ada tiga ciri khas atau gejala klinis yang spesifik untuk penyakit DM ini yang disebut 3P atau tiga banyak. Ada poliuri atau banyak kencing, kemudian polidipsi atau banyak minum, dan polifagi atau banyak makan,” kata Endang.
Dia menjelaskan gejala poliuri ditandai ketika orang banyak berkemih atau sering buang air kecil. Hal tersebut disebabkan kadar gula darah yang sangat meningkat kemudian ginjal berusaha membuang gula dan ikut menarik cairan yang banyak di dalam tubuh.
“Sehingga orang yang kadar gula dalam darahnya meningkat ini mengalami sering sekali berkemih atau buang air kecil. Bahkan dalam sehari bisa 5 liter yang dikeluarkan pada saat berkemih,” ujarnya.
Selanjutnya, gejala polidipsi atau sering haus. Kondisi ini terjadi karena banyak cairan yang dikeluarkan ketika buang air kecil sehingga penderita diabetes akan merasa haus yang berlebihan dan kebutuhan untuk minum juga lebih besar.
Terakhir, gejala polifagi atau banyak makan karena tubuh mengalami kelaparan sel sehingga akan berusaha memasukkan banyak kalori untuk mengatasi sel-sel yang kelaparan. Dengan demikian, orang yang kadar gula darahnya tinggi akan merasa sering lapar atau banyak makan.
“Itu adalah gejala-gejala yang spesifik untuk diabetes melitus. Ada juga gejala yang tidak spesifik, misalnya penurunan berat badan karena sebab yang tidak diketahui,” kata Endang.
Selain itu, gejala yang tidak spesifik lain termasuk tubuh merasa lemas, bisa muncul gatal-gatal, ada luka yang tidak kunjung sembuh atau bisul yang hilang-timbul, keputihan pada perempuan, bahkan impotensi pada laki-laki.
“Tapi gejala-gejala ini bisa juga terjadi pada saat yang sudah lanjut sehingga orang kadang-kadang tidak sadar sudah mengidap diabetes melitus, bahkan ada yang tidak bergejala sehingga terlambat diketahui,” tuturnya.
Ubah faktor risiko
Secara garis besar, ada faktor risiko yang sebenarnya dapat diubah untuk menurunkan risiko diabetes, seperti obesitas, kurang aktivitas fisik, tidak makan dengan gizi seimbang, serta hipertensi. Sementara faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti usia, keturunan, ibu penderita diabetes gestasional, serta kelahiran bayi dengan bobot kurang dari 2.500 gram.
Endang mengatakan penegakan diagnosis diabetes melitus dilakukan melalui pemeriksaan gula darah, yakni pemeriksaan gula darah sewaktu melalui vena kapiler di ujung jari atau melalui darah vena yang biasanya diambil dari bagian dalam siku.
“Seseorang ditegakkan menyandang DM apabila kadar gula darah sewaktunya lebih dari 200 mg/dL disertai gejala-gejala yang spesifik seperti yang disebutkan, ada polifagi, poliuri, polidipsi,” katanya.
Pemeriksaan darah lain yang bisa dilakukan yaitu gula sampel darah puasa yang diambil ketika orang sudah berpuasa minimal 8 jam. Apabila kadar gula darah lebih dari 126 mg/dL, maka sudah bisa ditegakkan sebagai diabetes melitus. Ada pula pemeriksaan yang lebih spesifik dengan pemeriksaan HBA1C, yang apabila kadar gula darah lebih dari 6,5 mg/dL maka dikategorikan sebagai diagnosa diabetes melitus.
Baca juga: Mencegah Pradiabetes Jadi Diabetes dengan Pilih Makanan