Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kisah Pasien Kanker yang Pernah Berobat ke Luar Negeri, Bedanya dengan di Dalam Negeri?

Reporter

ilustrasi kemoterapi (pixabay.com)
ilustrasi kemoterapi (pixabay.com)
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Banyak orang Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri dengan berbagai alasan, beragam penyakit, dan berbagai negara. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun ikut mengeluhkan hal tersebut karena dinilai turut menyebabkan kerugian ekonomi negara.

Namun, memilih di mana akan berobat dan menyembuhkan penyakit adalah hak setiap orang. Apalagi jika mereka memang punya biaya untuk melakukannya. Seorang penyintas kanker payudara bernama Esta (bukan nama sebenarnya) pun membagikan pengalamannya berobat di luar dan dalam negeri.

Esta sempat menjalani pengobatan di sebuah rumah sakit di Singapura sekitar 12 tahun lalu setelah didiagnosis kanker. Untungnya, sebagian biaya berobat ikut ditanggung tempatnya bekerja. Ia pun menjelaskan alasannya memilih rutin terbang ke negeri jiran untuk berobat.

"Kepingin mendapatkan kejelasan atas penyakit dan second opinion karena di Jakarta sudah dianggap stadium lanjut sementara di Mount Elizabeth Singapura dapat stadium 3B, beda tipis tapi lumayan bikin sedikit optimis," jelasnya.

Selain itu, menurutnya daftar antrean untuk konsultasi dengan dokter kanker paling top di Jakarta pada waktu itu harus menunggu sebulan, baru bisa ketemu, sementara sakitnya sudah tidak karuan.

"Tahu sendirilah kanker, nyerinya kayak apa. Jadi, gue pilih di Mt. E untuk konsul dengan dokter paling top di sana saat itu (dr. Ang Peng Tiam). Alhamdulillah, bisa langsung datang dan ditangani, pakai antre juga tapi antreannya bisa diperkirakan jamnya," lanjut karyawan di sebuah perusahaan konsultan itu.

Tanpa janji muluk
Ia mengaku tidak heran bila banyak orang Indonesia yang bersedia terbang jauh untuk mengobati penyakitnya. Menurutnya, dokter di luar kadang bisa menjadi pendengar yang baik.

"Mau dengar keluhan dan pertanyaan pasien, enggak nakut-nakutin dengan diagnosa yang seram-seram tapi juga enggak kasih harapan yang ketinggian. Misalnya kanker gue kan sudah metastase/menjalar ke getah bening, jadi gue tanya kemungkinan sembuh ada enggak? Dia cuma bilang sakit gue ini treatable, bisa di-mantain dengan pengobatan yang ada saat itu. Tapi kalau kesembuhan dia enggak bisa menjanjikan karena kanker suka muncul lagi dan dia cuma dokter yang mengupayakan kesembuhan tapi yang nentuin bakal sembuh atau enggak cuma Tuhan," kisahnya.

Tahun lalu, kankernya muncul kembali. Namun kali ini ia tidak berobat ke luar negeri. Ia menjalani rangkaian pengobatan dan terapi di sebuah rumah sakit di Kota Bekasi. Esta mengaku cukup puas dengan pelayanan rumah sakit tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Berobat di Bekasi juga asik karena enggak sangka BPJS benar bisa gratis," ujarnya.

Ia hanya kasihan melihat tenaga medis, dokter, dan perawat karena pasien BPJS benar-benar membludak. Banyak sekali pasien kanker pengguna BPJS, antrean membludak.

"Harus sabar dan waktu untuk konsul dokter juga terbatas karena lo pasti enggak akan tega lihat ratusan teman yang sudah antre berjam-jam. Kualitas penanganan dokter dan suster bagus, cukup sigap, dan komunikasi dua arah juga oke. Tapi mungkin kurang maksimal juga untuk pasien dengan sakit yang sudah parah karena menurut gue mereka butuh waktu yang lebih lama untuk diperiksa. Mungkin kasusnya agak beda kalau pasiennya non-BPJS, mereka bisa lebih santai untuk konsultasi," paparnya. 

Ia juga membagi pengalamannya sebagai pasien kanker. Menurutnya, di Singapura penanganannya memang cepat, profesional, dan proporsional. Misalnya urusan lab, pindai tulang atau CT scan, bisa satu hari. Lalu, besoknya bertemu dokter dan kemoterapi. 

Ia merasa kemoterapi di Singapura tak seberat di Indonesia. Di sana ia bisa naik kereta MRT, bus, jalan-jalan dulu ke mal, lalu pulang ke Jakarta naik feri lewat Batam, atau pesawat. Sesampainya di Jakarta, perjalanan dilanjutkan dengan naik bus Damri.

"Berdiri di Damri tanpa lemas, mual, dan lain-lain. Besoknya ke kantor kayak biasa. Tapi di Indonesia, OMG, sudah kayak mau game over, beda banget. Mungkin jenis obat atau ramuan chemo cocktail-nya yang beda atau mungkin umur gue yang sudah terlalu tua. Tapi in terms of services dari paramedis di sini baik-baik banget, superhelpful, enggak ada yang judes. Padahal gue kan cuma pasien BPJS, jadi terharu," kisah wanita paruh baya ini.

Pilihan Editor: 7 Alasan Pasien Memilih Berobat ke Luar Negeri

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

Iklan

Berita Selanjutnya




Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.




Video Pilihan


Tips Gaya Hidup Sehat buat Penyintas Kanker

15 jam lalu

Pasien anak dengan kanker sedang bermain/Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI)
Tips Gaya Hidup Sehat buat Penyintas Kanker

Berikut beberapa tips bagi penyintas kanker untuk menerapkan gaya hidup tertentu agar hidup lebih sehat dan menyenangkan.


Tips buat yang Ingin Jalani Pemeriksaan Kesehatan di Malaysia

2 hari lalu

Ilustrasi cek kesehatan (Pixabay,com)
Tips buat yang Ingin Jalani Pemeriksaan Kesehatan di Malaysia

Banyak orang Indonesia berobat ke Malaysia. Agar wisata kesehatan ke Malaysia lebih optimal, berikut beberapa kiat yang dapat diterapkan.


16 Siswa di Kanada dibawa ke RS Usai Jatuh di Benteng Gibraltar

3 hari lalu

Fort Gibraltar di Winnipeg. Foto : Tripadvisor
16 Siswa di Kanada dibawa ke RS Usai Jatuh di Benteng Gibraltar

Para siswa jatuh dari bangunan setinggi sekitar empat hingga enam meter di dalam kompleks Benteng Gibraltar di Kanada


Identifikasi Risiko Penyakit Jantung Hingga Kanker dengan Tes Genetik

4 hari lalu

Ilustrasi kanker (pixabay.com)
Identifikasi Risiko Penyakit Jantung Hingga Kanker dengan Tes Genetik

Dalam upaya pencegahan, mengidentifikasi berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes hingga kanker bisa dilakukan dengan tes genetik.


Kenali Perburukan Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronis

5 hari lalu

Ilustrasi paru-paru basah. Foto : halodoc
Kenali Perburukan Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) memiliki potensi dapat berubah menjadi perburukan gejala atau eksaserbasi. Simak penjelasan dokter.


Inilah Risiko Kesehatan yang Mengintai jika Terlalu Sering Makan Pizza

7 hari lalu

Ilustrasi pizza. Sumber: Unsplash/asiaone.com
Inilah Risiko Kesehatan yang Mengintai jika Terlalu Sering Makan Pizza

Pizza sebagai junk food memiliki beberapa risiko kesehatan. Apa saja risiko kesehatan tersebut?


Kenali Tanda-tanda Awal Kanker Mulut

7 hari lalu

Sariawan di lidah bisa sembuh sendiri, tapi jika terlalu lama bisa jadi ada infeksi serius hingga sinyal kanker mulut. (Canva)
Kenali Tanda-tanda Awal Kanker Mulut

Menyadari tanda-tanda kanker mulut lebih awal dapat membantu diagnosis dan pengobatan tepat waktu.


Mengenal Abses, Penumpukan Nanah Akibat Infeksi

7 hari lalu

Ilustrasi Bisul. shutterstock.com
Mengenal Abses, Penumpukan Nanah Akibat Infeksi

Bakteri yang disebut Staphylococcus menyebabkan sebagian besar kasus abses.


Perdana, RS Paru Jember Lakukan Operasi Bedah Saraf Aneurisma Otak

7 hari lalu

Ilustrasi otak. Pixabay
Perdana, RS Paru Jember Lakukan Operasi Bedah Saraf Aneurisma Otak

RS Paru menjadi rumah sakit pertama yang melakukan operasi bedah saraf clipping aneurisma otak untuk Jawa Timur bagian timur.


Kenali Cara Penanganan Displasia Serviks

8 hari lalu

Ilustrasi kanker serviks. shutterstock.com
Kenali Cara Penanganan Displasia Serviks

Penanganan displasia serviks tergantung pada berbagai faktor, termasuk tingkat keparahan, usia, kesehatan, dan preferensi perawatan.