TEMPO.CO, Jakarta - Studi ChildFund International menyebutkan bahwa sebanyak 5 dari 10 anak usia 13-24 tahun menjadi pelaku perundungan online. sementara 6 dari 10 orang muda menjadi korban. Dalam rentang usia 13-24 tahun, anak berusia 13-15 tahunlah yang paling rentah menjadi korban perundungan (64,5 persen).
Anak laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama menjadi pelaku atau korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki kemungkinan tinggi menjadi pelaku, sementara anak perempuan menjadi korban. Sementara itu, siswa SMA lebih mungkin menjadi pelaku dan korban perundungan online dibanding siswa SMP ataupun mahasiswa perguruan tinggi.
Menyikapi hasil kajian dari ChildFund International, Psikolog Anak dan Co-Founder TigaGenerasi Putu Andini menjelaskan bahwa perilaku perundungan online sangat berkaitan dengan pengawasan serta peran dari orang tua, tenaga pendidik hingga media.
“Bahkan, orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi apa yang dilakukan anak mereka secara daring, bisa menjadi pemicu keterlibatan anak dalam perilaku perundungan online. Jika dibiarkan, dampak perundungan online bisa memengaruhi anak hingga usia dewasa, baik bagi pelaku maupun korban,” kata Putu dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 18 Maret 2023.
Putu juga menambahkan bahwa, perundungan online mampu memengaruhi bagaimana anak mempersepsikan dirinya dan dunia di sekitarnya. Persepsi ini tidak hanya terbentuk dari satu kejadian perundungan online yang dialami, namun bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemberitaan yang tidak ramah anak.
“Korban cenderung membatasi aktivitas mereka di media sosial. Trauma yang dialami menyebabkan korban menarik diri dari interaksi sosial seperti kehidupan publik dan teman, termasuk kehidupan sekolah yang pada akhirnya membatasi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang baik,” kata Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi ChildFund International di Indonesia Reny Haning.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi menuntut orang tua dan pendidik untuk lebih cepat beradaptasi dalam mengawasi aktivitas anak, mendidik serta melindungi dari ancaman yang ada di dunia daring. "Memahami hal tersebut, Childfund International di Indonesia (CFI) kali ini hadir dengan langkah strategis untuk menggandeng jurnalis dalam memperkenalkan program Swipe Safe guna membentuk kultur digital yang positif, serta membantu orang tua dan tenaga pendidik dalam menavigasi dunia maya dengan lebih baik," kata Reny Haning.
Swipe Safe adalah inisiatif yang dilakukan oleh CFI dengan dukungan dari ChildFund Australia dan Australia Government. Program Inisiatif ini bertujuan agar masyarakat dapat menavigasi internet dengan aman melalui edukasi anak, orang tua, penyedia layanan dan sekolah mengenai potensi risiko online. Juga lewat pemberian keterampilan praktis bagaimana melindungi diri mereka dari risiko eksploitasi seksual, kekerasan seksual, penipuan dan peretasan di dunia online.
“Inisiatif Swipe Safe juga bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan kebijakan sekolah dan prosedur keamanan online bagi anak,” kata Reny.
Berdasarkan kajian tentang eksploitasi, kekerasan seksual dan perundungan online di Indonesia yang diluncurkan CFI pada Desember 2022 terungkap bahwa eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) secara daring telah berkembang menjadi berbagai bentuk; tidak hanya dalam bentuk produksi, kepemilikan, dan distribusi materi pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara daring, tetapi telah diperluas menjadi live streaming pelecehan seksual anak, online grooming serta pemerasan dan pemaksaan seksual.
Pilihan Editor: Cyber Bullying Berdampak ke Anak: Ketahui Tanda-tanda dan Cara Menanganinya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.