TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, menyebut ada banyak cara agar ayah bisa ikut berperan dalam pengasuhan anak, seperti melakukan kegiatan bersama, sering berkomunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh, memberikan pengarahan, selalu ada untuk anak, dan lainnya. Dalam hal ini, ayah harus ikut beraktivitas bersama anak karena kegiatan bersama ikut menstimulasi perkembangan kognitif, termasuk cara berkomunikasi antara ayah dan ibu.
Cara berkomunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuan bahasa yang lebih tinggi sehingga bisa merangsang perkembangan kognitif anak. Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif lebih optimal. Fungsi eksekutif atau pengambilan keputusan berkaitan dengan kemampuan merencanakan, pengendalian diri, pemecahan masalah, dan perhatian.
Mengasuh anak tentu melibatkan kehadiran ayah langsung. Pengasuhan juga mempengaruhi perkembangan emosi. Relasi positif ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang. Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan anak bisa mengurangi beban pada ibu sehingga turut mempengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak.
Keterlibatan ayah juga berpengaruh pada kedekatan anak yang akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan sosial. Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, dan kepercayaan diri rendah. Dalam perkembangan moral, ayah berperan penting dalam penanaman nilai individu karena sikap cenderung lebih tegas dan maskulin daripada ibu.
Peran pemerintah
Peran pemerintah dalam masalah ini juga dinilai sangat penting. Untuk menjaga ketangguhan keluarga tidak menjadi rentan dalam bentuk mencegah fenomena ketidakhadiran ayah terjadi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah membuat program Generasi Berencana sebagai wadah bagi para remaja untuk meningkatkan keterampilan hidup dalam membangun rumah tangga.
Program ditekankan supaya pasangan mampu membina hubungan suami istri dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Dalam program ini juga disosialisasikan pendewasaan usia perkawinan menjadi salah satu ukuran untuk memastikan agar anak-anak Indonesia tidak menikah di usia kurang dari 19 tahun. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat mempersiapkan diri secara mental, fisik, dan materi dengan lebih matang dan baik sebelum memutuskan untuk menikah.
Pasangan usia subur yang telah memiliki anak dapat mengikuti kelas pengasuhan secara daring atau luring oleh BKKBN. Di dalamnya disampaikan penerapan delapan fungsi keluarga dan pembagian peran dalam pengasuhan anak.
Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah tingkat daerah juga harus membuat program yang sama untuk menangani hal ini. Salah satu yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya adalah dengan menyediakan tempat pelayanan konsultasi keluarga atau dikenal Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga).
Salah satu program di Puspaga adalah Sekolah Orang Tua Hebat, di mana orang tua dilatih oleh psikolog terkait pengetahuan pola asuh dan parenting serta pelatihan Bina Keluarga Balita, Bina Keluarga Remaja, Bina Keluarga Lansia, dan webinar atau bincang-bincang seputar kesetaraan gender. Tidak hanya itu, Pemkot Surabaya juga mewajibkan calon pengantin mengikuti kelas atau pembekalan sebelum menikah. Kelas catin ini untuk memantapkan hati setiap pasangan yang hendak naik ke pelaminan.
Mengatasi masalah kurangnya peran ayah dalam kehidupan anak adalah tanggung jawab bersama masyarakat, pemerintah, keluarga, dan individu. Dengan meningkatkan kesadaran, dukungan kebijakan, pembangunan komunitas, dan perubahan sikap masyarakat, kita dapat membangun generasi yang kuat dengan kehadiran ayah yang lebih aktif dan mendukung tumbung kembang jiwa dan fisik anak. Ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi perkembangan anak dan masa depan bangsa.
Pilihan Editor: Keputusan Childfree Tak Selalu Permanen, Bisa Saja Kelak Berubah