TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menghantui masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Semua orang, terlepas dari usia, strata sosial, atau di mana mereka tinggal, memiliki risiko yang sama untuk terjangkit penyakit DBD. Penyakit ini dapat sangat berbahaya karena menyebabkan kematian. Namun, sampai dengan saat ini belum ada pengobatan khusus yang spesifik untuk mengobati DBD.
Ketua dan Pendiri Farid Nila Moeloek Society, Nila Djuwita F. A Moeloek mengatakan mengajak peran aktif masyarakat dalam memperkuat langkah-langkah pencegahan DBD di tingkat terkecil, yaitu keluarga. "Sebelum kita dapat menggerakkan yang lebih besar di tingkat nasional. Apalagi, semua orang berisiko terkena DBD. Oleh karena itu, melalui acara diskusi publik hari ini, kami melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk berdiskusi dan bersama-sama mencari solusi dalam pencegahan penyakit dengue,” katanya pada Diskusi bertajuk Peran Masyarakat dalam Perlindungan Keluarga terhadap Ancaman Dengue Rabu 17 Januari 2024 di Jakarta.
Diskusi bertajuk Peran Masyarakat dalam Perlindungan Keluarga terhadap Ancaman Dengue/Istimewa
Nila menambahkan bahwa beban yang ditimbulkan oleh penyakit DBD berdampak signifkan, baik secara sosial maupun ekonomi. Pasien yang terlambat ditangani dapat berakibat fatal, bahkan menyebabkan kematian, dan hal ini berisiko lebih tinggi pada anak-anak. "Kalau sudah begitu, bukan hanya keluarga yang dirugikan – mulai dari biaya yang dikeluarkan, rasa cemas dan khawatir – tetapi apabila terjadi secara luas bisa menimbulkan kerugian pada negara,” katanya.
Wakil Menteri Kementerian Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menambahkan dalam 10 tahun terakhir, kasus dengue/DBD di Indonesia meningkat seiring dengan pergantian iklim. Biasanya kasus DBD mulai naik di bulan November, dan puncaknya terjadi sekitar bulan Februari. Jumlah kasus ini pun semakin meningkat dengan meningkatkany suhu saat ini karena dibawa oleh El Nino. "Indonesia menjadi salah satu dari 30 negara endemik dengan kasus tertinggi. Sebagian besar kabupaten/kota mempunyai incidence rate kasus lebih dari 10 per 100.000 penduduk. Bahkan ada 26 kabupaten/kota yang sudah mencapai incidence rate kasus lebih dari 10 per 100.000 penduduk,” katanya.
Dante mengatakan pemerintah telah merumuskan strategi nasional penanggulangan dengue 2021-2025 yang mencakup manajemen vektor, surveilans, tata laksana, partisipasi masyarakat, komitmen pemerintah dan kajian. Salah satu yang dilakukan pemerintah adalah dengan secara aktif sosialisasi terkait gerakan masyarakat seperti program 3M Plus. "Sejauh ini, 3M Plus masih menjadi program yang cukup efektif. Namun memang, selain dengan memperkuat program pemberdayaan masyarakat, dibutuhkan upaya yang lebih inovatif untuk pengendalian DBD di Indonesia, seperti pengembangan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dan vaksin," katanya.
Dante pun menyambut baik intervensi inovasi melalui vaksin dalam penanganan DBD. Timnya akan menjalin kerja sama yang berkesinambungan dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, seperti FNM Society dan Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR), guna mencapai target utama ‘Indonesia Nol Kematian Akibat Dengue 2030’. "Kami mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta dalam upaya pencegahan dengue di lingkungannya masing-masing,” kata Dante.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, pemerintah Indonesia melalui RPJMN 2020-2024 berkomitmen untuk mengendalikan DBD sebagai bagian dari strategi peningkatan pengendalian penyakit. Beberapa aktivitasnya seperti pencegahan dan pengendalian faktor risiko penyakit, penguatan health security, peningkatan cakupan penemuan kasus dan pengobatan, serta pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian penyakit dan penguatan sanitasi total berbasis masyarakat. “Program introduksi vaksin dengue oleh pemerintah bisa dimulai paling lambat tahun depan (2025),” kata Maxi.