TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat mengkritik perilaku Erina Gudono di media sosial. Akun instagram menantu Presiden Jokowi itu dibanjiri kritik warganet setelah membagikan aktivitas pelesir bersama Kaesang ke negara Paman Sam. Masyarakat menilai Erina telah flexing atau pamer karena memperlihatkan gaya hidup mewah saat masyarakat protes terhadap rezim mertuanya.
Bagi sebagian kalangan, perilaku flexing di media sosial bukan hal yang salah, meski begitu, jika unggahan terlalu berlebihan dapat menimbulkan efek negatif bagi pengikut publik figur tersebut.
Seperti yang dipercaya oleh aktor dan komedian Aming. Menurut dia, setiap orang boleh memamerkan hasil kerja keras sesekali. Untuk memotivasi bahwasanya from zero to hero itu vibrasi positif yang harus ditularkan. Jadi pengikut akan merasa termotivasi untuk menggapai cita-citanya melalui pandangan yang positif. "Tapi kalau seringkali kita memamerkan apa yang kita punya secara terus menerus, bahaya,” tulisnya pada keterangan foto yang diunggah pada 2 Maret 2019.
Aming mengatakan bahwa efek negatif yang timbul akan berupa ketidaksetaraan atau gap yang jauh antara pengikut bergelimangan harta dan yang tidak memiliki apa-apa. Bagi mereka yang mampu, Aming menyebut jika mereka dengan mudah dapat membelinya.
Namun, apabila unggahan tersebut dilihat oleh orang yang kurang mampu, mereka pun akan merasa diri kecil dan miskin sehingga akan menghalalkan segala cara untuk mengubah pandangan agar dianggap setara.
“Jadi penipu, jadi penjahat, jadi khilaf dan yang parahnya jadi kriminal untuk mendapatkan apa yang mereka bener-bener mau. Karena tidak semua dari mereka berpendidikan tinggi. Kasihan kalau mereka jadi pribadi yang iri terus kriminal gara-gara laman Instagram kita,” tulisnya.
Oleh karena itu, Aming mengimbau agar para publik figur menggunakan media sosial dengan sebaik mungkin. Khususnya agar dapat menginspirasi dan tentunya berguna bagi semua orang.
Perilaku flexing harta dan gaya hidup mewah juga tidak baik secara sosial. Sebuah penelitian oleh Nadia Kusuma Putri dan kawan-kawan dari Universitas Pekalongan menyebutkan dampak dari flexing. Di antaranya sebagai berikut:
1. Menimbulkan kecemburuan sosial
Orang yang memamerkan kekayaannya, seperti memakai barang bermerek (pakaian, tas, sepatu, dan lain-lain), mengendarai kendaraan mewah, dan makan di restoran mewah, dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Mengutip Veblen, penelitian ini menyebut kelas atas menggunakan konsumsi yang berlebihan untuk membedakan dirinya dari kelas-kelas di bawahnya dalam hierarki sosial, sedangkan kelas bawah berusaha meniru tingkatannya, meskipun biasanya gagal. Sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. Akibat dari kegagalan meniru gaya hidup kelas atas.
2. Meningkatkan utang untuk kebutuhan tidak mendesak
Demi menaikkan gengsi, mereka rela menghabiskan uangnya untuk membeli barang mewah atau menyewa barang mewah yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Dalam konteks pamer, kepalsuan bercampur dengan keaslian. Keadaan ini membuat masyarakat modern menjadi berlebihan dalam mengonsumsi segala sesuatu bukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan pengaruh simulasi yang menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda-beda. Sehingga secara finansial mereka tidak mampu untuk mengonsumsi berbagai hal agar kebutuhan mereka terpenuhi. Misalnya, mereka menyewa iPhone selama 24 jam, dengan tarif yang bervariasi, sesuai jenisnya. Mereka menyewa iPhone hanya untuk pamer.
3. Menjadikan budaya flexing sebagai tren yang asyik untuk ditiru
Dengan berusaha melakukan gaya hidup mewah meski di atas kemampuan ekonomi, mereka mendapatkan pengakuan, meskipun kondisi sebenarnya tidak seperti yang mereka pamerkan. Mereka rela menghabiskan uangnya hanya untuk membeli barang-barang yang identik dengan kelas atas agar diakui sebagai orang elit juga.
LINDA LESTARI | SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA
Pilihan Editor: Warganet Kirim Surat Massal untuk Cabut Beasiswa Erina Gudono di University of Pennsylvania