TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua harus siap kondisi mental saat merawat anak yang menderita penyakit kritis sehingga pendampingan berjalan maksimal. Menurut spesialis anak konsultan emergensi dan rawat intensif anak Yogi Prawira, banyak orang tua yang kerap melupakan kondisi mental sendiri dan berlama-lama berada dalam fase penyangkalan setelah mengetahui anak menderita penyakit kritis dengan peluang sembuh kecil.
“Seperti pada saat naik pesawat, ketika terjadi perubahan tekanan oksigen di dalam kabin maka pramugari mengimbau penumpang mengenakan masker oksigen ke diri sendiri terlebih dulu baru kemudian membantu mengenakan masker oksigen ke anak. Pada saat orang tua memiliki anak sakit gawat dan kita awam maka yang pertama kali ditolong diri kita sendiri dulu,” kata Yogi di Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2024.
Dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta itu juga mengingatkan orang tua untuk benar-benar memahami penyakit yang diderita anak beserta berbagai kemungkinan yang berpeluang terjadi pada masa datang. Ketika orang tua sudah bisa berdamai dengan diri sendiri, pendampingan dan perhatian yang penuh pun bisa diberikan kepada anak.
Selanjutnya, orang tua diminta memprioritaskan kondisi dan persetujuan anak apabila memungkinkan untuk diajak berdiskusi. Anak dengan usia yang cukup harus terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai perawatan apa yang akan ditempuh.
“Karena kadang-kadang ada orang tua maunya semua dikerjakan. Padahal, mungkin keinginan terakhirnya hanya ingin bisa berkumpul dengan keluarga yang sudah berbulan-bulan menemaninya. Di sini kita harus lihat skala prioritas untuk anak,” pesannya.
Penuhi diri dengan energi positif
Dalam perawatan intensif, terkadang terjadi hal-hal yang sulit dijelaskan secara ilmiah. Ketika orang tua selalu memenuhi diri dengan energi positif, proses kesembuhan pada anak bisa saja terjadi dan begitu pula sebaliknya.
Pada kesempatan yang sama, psikolog perkembangan anak dan kesehatan mental Ajeng Raviando membenarkan penjelasan Yogi. Ia menambahkan pemupukan harapan positif sangat berdampak pada tingkat kesembuhan anak yang sedang mengalami penyakit kritis. Bahkan, harapan yang semakin kuat akan membantu anak termotivasi menjalani perawatan intensif hingga imunitas tubuhnya membaik meski sebelumnya telah dinyatakan tingkat kesembuhan cukup tipis dicapai.
“Sehingga memang kita butuh memberikan harapan dan bisa mengabulkan harapan-harapan dari anak-anak yang mengalami penyakit, sesederhana misalnya dia ingin bertemu temannya. Hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang sering kali tidak terlalu signifikan tapi buat-anak tersebut bisa membantu untuk terus berupaya dan berjuang untuk menghadapinya,” kata Ajeng.
Pilihan Editor: Tetap Prima di Usia 37, Ini Kiat Novak Djokovic Jaga Ketangguhan Mental