TEMPO.CO, Jakarta - Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koes Indriyah meluncurkan buku biografi berjudul Jalan Hidup Putri Bangsawan, 22 November 2012, di Gedung Serbaguna DPR, Senayan. Buku ini menceritakan kisahnya sebagai putri keraton dan sebagai anggota DPD RI.
Perempuan yang disapa Gusti Indri ini mengisahkan kehidupan putri keraton Surakarta, yang jauh dari kata berlebihan. “Saya nyaris bolos sekolah, karena sepatu satu-satunya basah. Saya memilih ke sekolah pakai sandal jepit,” katanya.
Sepatu basah merupakan satu dari sejumlah kisahnya sebagai putri keraton. Kisah inspirasi lain, ketika ibunya, KRAy Pradapaningrum, tak malu berjualan kroket untuk menambah penghasilan. Lewat seorang abdi dalem, makanan dari kentang ini dititipkan di warung.
“Kalian tak perlu malu jualan penganan ini. Justru kalian harus malu bila berpangku tangan. Sementara kita masih punya tenaga untuk berusaha,” kata Gusti Indri menirukan ucapan ibunya.
Sosok ibu menjadi panutan perempuan kelahiran 19 Oktober 1961 ini. Sosok ayahnya, Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewono XII, dikenangnya sebagai ayah yang juga raja dan pejabat militer. Mereka sangat dekat. Gusti Indri mengisahkan ayahnya menyetir bus hingga ratusan kilometer demi bisa membawa anak-anaknya piknik ke pantai Parangtritis.
Sejak kecil Gusti Indri diajarkan kewajiban menjaga tradisi dengan menekuni kesenian jawa. Dulu, sebelum tidur ibunya mengajak anak-anak melantunkan tembang macapat. Kebiasaan ini pun memancing imajinasi Gusti Indri yang bersama kakak-kakaknya menampilkan lakon Gatutkaca-Pregiwa, hanya berhiaskan daun mangga serta angus, bekas alat masak yang terbakar. Peristiwa masa kecil ini menjadi kenangan indahnya.
Dunia seni tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Seni tari berhasil mengharumkan nama Indonesia lewat misi kesenian ke sejumlah negara, di antaranya Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Paris, hingga Austria.
Prestasi tertinggi sebagai penari dirasakan saat memperoleh restu ayahnya menjadi penari Bedaya Ketawang, tarian sakral dan hanya ditampilkan satu tahun sekali dalam acara khusus. Untuk menjadi penari Bedaya Ketawang tidaklah mudah. Ada banyak persyaratan yang tidak ringan.
Hidup dalam keterbatasan di dalam Keraton membuatnya lebih kuat saat mengarungi kehidupan di Jakarta. Usai memutuskan untuk keluar dari keraton, ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di bank. “Setiap hari lari-lari mengejar metromini, yang entah kenapa jalannya selalu ngebut,” katanya sambil tertawa.
Perjalanan hidup mengantarkannya memasuki babak lain, menjadi anggota DPD RI dari Provinsi Jawa Tengah. Ia meraih sejuta lebih suara dan menjadikannya anggota DPD. Di tengah kesibukannya, ibu satu anak ini konsisten melestarikan tradisi keraton.
“Saya berharap buku ini bisa jadi inspirasi dan gambaran sebenarnya dari kehidupan keraton, hidup dengan keterbatasan tapi punya kekuatan untuk terus maju,” tuturnya. Dalam peluncuran buku ini hadir pula mantan Gubernur Sutiyoso sampai artis Julia Perez.
EVIETA FADJAR
Berita lain:
Borobudur Jazz Usung Tema Eksotisme
Tragedi Gerbong Maut Dipentaskan dalam Drama
Marcella dan Rachel Keroyokan Garap Rectoverso
Jatilan Pentas di Festival Seni Tradisi Solo
Syaharani Bakal Manggung di Borobudur Jazz