Fokus menyediakan stan bagi pengunjung yang ingin berkonsultasi seputar perkembangan anak. Apalagi di Makassar belum ada sistem pemantauan tumbuh kembang anak. Di Indonesia, fasilitas untuk mendiagnosis anak memang masih sangat terbatas.
Karena terbatasnya fasilitas itu pula Zidan menjalani terapi psikologis pada usia 4 tahun. Ia mendapat terapi perilaku, lalu berlanjut ke terapi bicara. Menurut Ira, karena sulit berkomunikasi, Zidan sedikit-sedikit mengamuk dan kerap memecahkan barang. “Membuat kami kadang stres.”
Ira, yang juga dosen di Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, mengatakan, untuk menangani anak autis, orang tualah yang harus lebih dulu menerima kondisi anak. “Keluarga dan masyarakat bilang anak saya nakal atau bertanya, kenapa anaknya belum bicara?” Hal ini biasanya membuat orang tua patah semangat dan membiarkan anak di rumah saja dan tidak sekolah.
Kalau orang tua bisa menyelesaikan konflik dengan dirinya sendiri, kata Ira, barulah memikirkan tindakan yang tepat bagi buah hati. Seperti terbuka untuk konsultasi, lebih rajin menemani sang anak, dan memperhatikan kebutuhannya. Sebab, kehadiran orang tua diperlukan untuk menstimulasi anak.
Cara menstimulasi anak adalah dengan mengajaknya berbicara. Memang butuh proses yang lama untuk mengarahkan anak berupaya menyebut apa yang dia maksudkan. Cara lain adalah dengan bantuan kartu bergambar atau bertulis “Ya” dan “Tidak”.
Ira biasanya mengajak Zidan mengobrol lewat tema yang disukai anaknya itu. Misalnya, akhir-akhir ini Zidan tertarik pada partai politik lewat berita di televisi. Melalui percakapan tentang parpol itu, Ira sekaligus mengajarkan angka dan warna. “Kelebihan Zidan, senang mengatur benda (menjadi miniatur bangunan) dan menggambar.” Di balik kekurangan penyandang autisme, kata dia, ada potensi unggul. “Itu yang mesti dikembangkan.”