TEMPO.CO, Jakarta - Para pekerja kontrak atau temporer ternyata berisiko dua kali lipat mengalami depresi ketimbang karyawan tetap. Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan profesor Ham Byoung-ju dan Han Kyu-man dari Korea University Hospital, Korea Selatan.
Baca: Apa Beda Gelisah dan Depresi? Ini Kunci & Tandanya
Baca Juga:
Para peneliti mengungkapkan risiko ini dialami setidaknya satu dari tujuh orang dengan prevalensi 13,1 persen. Salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran kontrak dihentikan perusahaan.
Studi itu menggunakan sampel 6.266 pekerja berusia 19 tahun atau lebih. Dari jumlah itu, 3.206 orang merupakan pekerja tak tetap, sementara sisanya pekerja reguler.
Peneliti lalu mengukur apakah seseorang mengalami mood depresi yang cukup serius sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka selama lebih dari dua minggu. Mereka menanyai apakah para partisipan pernah atau tidak terdorong melakukan bunuh diri setidaknya satu kali dalam setahun terakhir.
Baca Juga:
Sebanyak 13,6 persen pekerja kontrak mengaku mengalaminya dibanding karyawan tetap dengan prevalensi 8 persen. "Bukan hanya prevalensi, tapi tingkat risiko depresi 1,32 kali lebih tinggi untuk pekerja tidak tetap daripada pekerja reguler. Jika terjadi dorongan bunuh diri, itu lebih umum terjadi pada pekerja kontrak pria yang berpenghasilan rendah," ujar Byoung-ju.
Dia mengatakan studi ini memverifikasi, secara psikologis, pekerja kontrak lebih rentan depresi. "Pembuat kebijakan kesehatan dan perusahaan perlu lebih memperhatikan kesehatan mental pekerja tidak tetap," ujarnya, seperti dilansir kantor berita Yonhap.
ANTARA