TEMPO.CO, Jakarta - Asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit kronis yang menyebabkan berkurangnya kualitas kehidupan. Penyakit ini menyumbang 10,7 persen dari seluruh penyebab kematian. Di Indonesia, tiap penyakit tersebut memiliki prevalensi sebesar 4,5 persen untuk asma dan 3,7 persen untuk PPOK dari populasi Indonesia.
Untuk menanggulangi penyakit asma dan PPOK, PT Boehringer Ingelheim Indonesia sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan global bersama Kementerian Kesehatan membuat program Initiative for Health Awareness, Liaising, and Empowerment (INHALE).
”Program INHALE merupakan sebuah program di mana pada daerah yang terpilih, untuk kali ini daerah dengan prevalensi tinggi, yakni Palu dan Kupang, akan dilakukan serangkaian kegiatan yang diharapkan dapat memperbaiki status kesehatan, khususnya asma dan PPOK,” kata Medical Director PT Boehringer Ingelheim Indonesia, dokter Mary Josephine, dalam peluncuran aplikasi CekGulaKu dan INHALE di gedung Kementerian Kesehatan, Senin, 29 Mei 2017.
Mary menjelaskan, tujuan program ini adalah dari peningkatan kompetensi tenaga kesehatan, peningkatan kesadaran masyarakat setempat terhadap asma dan PPOK, sampai peningkatan kesiapan alat kesehatan difasilitasi. “Sehingga masyarakat lebih mudah melakukan deteksi dini dan tindak lanjut dini apabila terjangkit,” ujarnya.
Anggota kelompok kerja Asma dan PPOK dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dokter Dianiati Kusumo Sutoyo, mengatakan usaha penanggulangan asma dan PPOK membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak. Saat ini, Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya penguatan pelayanan kesehatan primer dalam usaha menyehatkan masyarakat.
”Tentunya kita harus memantau kinerja dan kualitas layanan primer karena, sebagai pelayanan yang paling dekat dengan masyarakat, layanan primer akan sangat berpengaruh terhadap tingkat morbiditas penyakit tidak menular,” kata Dianiati.
Dianiati menjelaskan, pemantauan kinerja terutama mengenai asma dan PPOK, termasuk memantau apakah semua tenaga medis sudah paham perbedaan kedua penyakit kronik tersebut, kompetensi para tenaga medis juga harus sesuai dengan standar, dan mereka harus paham apa saja tanda-tanda bahaya pasien. “Termasuk tindakan penanganan yang dilakukan dan seperti apa bentuk komplikasi yang mungkin terjadi,” ujarnya.
AFRILIA SURYANIS