TEMPO.CO, Jakarta - Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ondri Dwi Sampurno mengatakan, terapi herbal tak dapat dijadikan sebagai pengobatan utama untuk mengatasi kanker. Dalam rilis yang diterima Tempo, Ondri berujar, obat herbal hanya bisa digunakan sebagai terapi pendukung.
“Penyakit serius perlu penanganan medis serius,” kata Ondri dalam diskusi bertajuk ‘Cerdas Menykapi Herbal untuk Terapi Kanker’ di kantor BPOM, Jakarta Pusat, Senin, 13 November 2017.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, prevalensi kanker di Indonesia sebesar 1,4 per 1.000 penduduk. Dari angka itu, kasus tertinggi yang terjadi pada wanita adalah kanker servik dan payudara. Sementara pria paling banyak menderita kanker paru-paru dan kolorektal (usus). Baca: Hari Ayah Nasional, Tahu 7 Lagu tentang Ayah ini?
Sebuah jurnal memperlihatkan sebanyak 281 pasien yang terdiagnosis stadium awal kanker payudara, prostat, paru-paru, dan kolorektal memutuskan mencoba terapi herbal dan meninggalkan pengobatan medis.
Hasilnya adalah potensi moralitas atau kematian pada pasien kanker payudara 5,68 kali lebih besar. Sementara 4,57 kali lebih besar pada pasien kanker kolorektal dan 2,17 kali lebih besar pada pasien kanker paru. Jurnal itu berjudul ‘Use of Alternative Medicine for Cancer and Its Impact on Survival’ yang dipublikasikan online pada 10 Agustus 2017.
Ada beberapa kasus kanker payudara yang tak terselesaikan ketika penderita menggunakan terapi herbal. Misalnya, seorang perempuan berusia 43 tahun di Jakarta mengidap kanker payudara stadium 3B pada 2008. Karena tak mampu membiayai pengobatan medis seperti kemoterapi dan operasi, ia mengikuti terapi herbal sebanyak dua kali.
Tanaman-tanaman herbal diletakkan di luar ruangan sauna, di pemandian British Banya, Sabtu (15/2), di Krasnaya Polyana, Rusia. AP/Jae C. Hong
Terapi pertama dilakukan di Cisarua. Namun dalam beberapa pekan, benjolan di payudara kanan makin membesar dan merah. Benjolan pun jadi pecah. Ia memutuskan berhenti dan pindah ke tempat terapi herbal di Kelapa Gading selama dua tahun. Ia diberikan minum aneka jus, seperti lidah buaya campur melon dan minum susu. Alhasil, payudara memburuk, bernanah, dan berdarah.
“Dikatakan bahwa itu adalah proses menuju kesembuhan dan diminta bersabar hingga dua tahun. Setelah dua tahun, luka payudara mengering tetapi perut membesar, susah bernafas, dan tidak bisa berjalan,” kata perwakilan Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) Shanti Gultom dalam rilis yang diterima Tempo. Baca: Hari Ayah Nasional, Anies Baswedan Berkisah tentang Foto Jadul
Tiga perempuan lainnya juga tak sembuh saat menggunakan terapi herbal. Akhirnya, mereka kembali ke dokter dan bertahan hidup.
Ondri mengungkapkan, penderita kanker seharusnya menjalani proses pengobatan medis. Pengobatan itu berlandaskan pada tata laksana atau aturan kedokteran fisik dan rehabilitasi medik.
Hal ini sejalan dengan pernyataan World Health Organization (WHO) bahwa kanker merupakan klaim tinggi yang harus dibuktikan melalui uji pra klinik dan uji klinik. Tak hanya itu, penggunaan obat herbal perlu dikonsultasikan dengan dokter ahli.