TEMPO.CO, Jakarta - Perceraian sering membuat anak jadi korban. Di tengah konflik antara kedua orang tua, tak sedikit psikologis anak menjadi terganggu.
Gisella Tani Pratiwi, psikolog anak dari Yayasan Pulih, mengatakan pada posisi ini kedua orang tua harus bisa mengelola konflik dan mendukung kesehatan mental anggota keluarga, terutama anak-anak. Ketika pasangan suami istri memutuskan berpisah, sebaiknya mereka menceritakan keputusan dan permasalahan yang terjadi kepada anak dalam porsi secukupnya saja sehingga anak tidak perlu terpapar konflik yang belum dipahami pada usianya.
Orang tua juga harus menghindari aksi komunikasi yang menambah konflik batin bagi anak, misalnya meminta anak memilih antara ayah dan ibu ketika ada perceraian. Orang tua sebaiknya memahami perkembangan, pemahaman, dan kebutuhan tumbuh kembang anak-anak sehingga bisa memberikan gaya komunikasi yang tepat.
"Sensitiflah dengan kondisi emosi anak, bantulah mengenali emosinya dan terimalah apapun kondisi emosinya, cobalah berempati dengan menerima emosinya, maka membantu anak lebih stabil," ujarnya.
Diskusi juga menjadi hal penting dalam membangun pola komunikasi dengan anak. Diskusi tentang permasalahan dengan cara yang memusatkan pada solusi dan memperhitungkan kondisi masing-masing pihak yang terlibat mungkin menjadi hal yang tepat.
"Intinya, biasakan untuk menjalin komunikasi yang terbuka dan hangat," imbuhnya.
Sementara itu, bagi para orang tua yang memutuskan bercerai, sebaiknya tetap menjalin komunikasi, tentu yang tidak menyudutkan satu sama lain. Mereka perlu saling mendengarkan pendapat dan terbuka untuk memahami pihak lain, seperti saling menerima jika memang ada ketidaksetujuan dalam hal mengurus anak. Tindakan kekerasan baik psikis maupun fisik juga perlu dihindari. Walaupun sudah bercerai, anak ingin melihat ayah ibunya tetap harmonis.