TEMPO.CO, Jakarta - Hari Kemanusiaan Sedunia selalu diperingati pada tanggal 19 Agustus. Hari penting ini menyadarkan bahwa negara memerlukan banyak pekerja kemanusiaan karena bencana alam sering terjadi, khususnya di Indonesia.
Selama bulan April hingga Juni misalnya, tercatat 734 bencana alam di Tanah Air. Itu berarti, setidaknya terdapat delapan kejadian bencana setiap hari. Adapun jumlah populasi yang terpapar oleh berbagai ancaman bencana di Indonesia sebagian besarnya adalah anak-anak.
Untuk alasan tersebut, anak-anak melalui forum Save the Children pun memberikan beberapa harapan kepada pemerintah terkait ketangkasan menghadapi bencana. Ada 3 tiga masukan utama mereka.
Pertama dari wilayah Nusa Tenggara dan Sulawesi yang diwakili oleh Abigail. Ia mengatakan bahwa salah satu bencana yang paling sering terjadi adalah kekeringan. Hal tersebut membuat anak-anak kesulitan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dan juga berdampak bagi panen yang gagal lantaran sebagian besar orang tua bekerja sebagai petani.
Dalam hal ini, Abigail pun berharap agar pemerintah bisa mendistribusikan kebutuhan masyarakat dengan baik. “Kami sangat membutuhkan pasokan air agar risiko diare, tifus dan masalah kesehatan akibat kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat bisa diatasi. Begitu pula dengan dukungan pemerintah atas mata pencaharian orang tua agar kami tetap terpelihara,” katanya dalam webinar bersama Save the Children pada 19 Agustus 2020.
Sementara itu di wilayah Sumatera, Yudha, mengatakan bahwa kebakaran hutan masih menjadi isu utama. Tak heran, ia pun meminta agar pemerintah memperkuat hukum atas para pelaku kebakaran hutan dan lahan supaya mereka mendapatkan efek jera. “Setiap pertengahan tahun, kebakaran hutan selalu terjadi di wilayah Jambi, Pekanbaru dan sekitarnya. Ini sangat membahayakan khususnya kabut asap yang ditimbulkan sebagai efek kebakaran hutan. Anak-anak banyak yang mengalami infeksi saluran pernapasan atas hingga asma. Semoga pemerintah lebih tegas menanggapi hal ini agar kami terlindungi,” katanya.
Terakhir anak yang mewakili wilayah Jawa Barat dan Jakarta, Shafira, menjelaskan bahwa banjir akibat perubahan iklim dan pola hidup masyarakat dalam menjaga lingkungan masih sering terjadi. Ia pun meminta agar pemerintah lebih tegas memberikan edukasi terkait pentingnya melestarikan lingkungan. “Harapan saya pemerintah lebih tegas lewat pemberian edukasi hingga sanksi bagi mereka yang tidak menjaga lingkungan. Karena kami sebagai anak-anak benar-benar terdampak dengan risiko sakit, tidak bisa sekolah hingga kematian,” katanya.
Shafira juga berharap agar pemerintah memperhatikan posko pengungsian sebagai tempat berteduh dari bencana. Harapannya ini bisa dibuat khusus ramah anak. “Banyak kasus pelecehan seksual pada anak karena posko pengungsian ditinggali banyak keluarga. Harapannya pemerintah lebih memperhatikan agar hak perlindungan anak tetap bisa didapatkan,” katanya.
Menanggapi seluruh masukkan dari berbagai perwakilan anak di wilayah Indonesia, Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Lilik Kurniawan pun menyambutnya dengan baik.
Ia mengatakan bahwa terbuka ruang bagi anak-anak untuk mendapat tempat dalam menyampaikan suara mereka sebagai pihak yang dikategorikan sebagai kelompok rentan. “Kami sangat menerima masukkan dari anak-anak sehingga mereka tidak saja menjadi objek edukasi dini tentang evakuasi bencana terutama di daerah rawan tetapi juga penting mendengar mereka dalam upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana yang tepat sasaran serta berpihak pada anak-anak,” katanya.