TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu penyakit penyerta atau komorbid pasien COVID-19 yang cukup berbahaya adalah diabetes. Diabetes menempati urutan kedua setelah hipertensi sebagai penyebab keparahan dan kematian pasien COVID-19.
Pasien diabetes harus lebih waspada dan disiplin dalam menjaga kadar gula darah selama pandemi agar kondisinya sehat dan mencegah terjadinya komplikasi. Namun, di saat yang bersamaan terdapat kekhawatiran untuk melakukan kontrol gula darah ke fasilitas kesehatan karena selalu dibayangi oleh penularan virus COVID-19.
Ketakutan pasien untuk mendatangi fasilitas kesehatan terlihat dari survey MarkPlus Industry Roundtable edisi ke 20 yang menunjukkan bahwa masyarakat semakin takut untuk mengunjungi rumah sakit sejak pandemi. Sebanyak 71,8 persen responden mengaku tidak pernah mengunjungi rumah sakit ataupun klinik sejak adanya COVID-19.
Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Ketut Suastika alias Suas menjelaskan, pengelolaan diabetes sebelum maupun selama pandemi seharusnya tidak dibedakan. Suas membenarkan sebagian masyarakat memang takut datang ke pelayanan kesehatan sehingga berimbas pada gula darah yang tidak terkontrol dan rawan komplikasi. "Sebenarnya pemerintah sudah memberikan kelonggaran bagi penyandang penyakit tertentu untuk tidak mendatangi fasilitas kesehatan. Pasien yang terlalu berisiko bisa diwakili keluarga, asalkan bukan pasien baru. Pemerintah juga memberikan pengobatan untuk dua bulan sehingga kunjungan menjadi lebih jarang,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 26 November 2020.
Ilustrasi diabetes. Freepik.com
Rapat Komisi Kesehatan DPR dengan Kemenkes dan jajarannya tanggal 17 November 2020, menyoroti persoalan ini. Tingginya kematian pada pasien COVID-19 yang disertai penyakit penyerta seperti diabetes, salah satunya disebabkan pelayanan dasar di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP/Puskesmas) belum maksimal. Tanpa intervensi yang agresif, dikhawatirkan pengelolaan diabetes semakin menurun, dan membuat pasien semakin rentan selama pandemi. Baik rentan komplikasi maupun rentan mengalami keparahan dan kematian saat tertular COVID-19
Hal itu dinyatakan oleh anggota Komisi Kesehatan DPR, Netty Prasetiyani. Menurutnya berbagai upaya memang mesti dilakukan. "Salah satunya melakukan inovasi pelayanan publik untuk pasien diabetes di Puskesmas. Puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat, oleh karena itu harus lebih diberdayakan,” katanya.
Netty maklum ketika pada awal pandemi, pemerintah kesulitan memberikan pelayanan kepada para pasien itu. Sehingga semua masih belajar bagaimana menyiapkan protokol COVID-19 dan memperkuat SDM untuk penanganan korban. "Namun sekarang sudah lebih dari 8 bulan pandemi, seharusnya sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak membenahi pelayanan di Puskesmas,” kata Netty.
Menurut Netty, Komisi Kesehatan DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan untuk mengoptimalkan penanganan penyakit penyerta COVID-19, termasuk diabetes, dengan cara memperkuat berbagai layanan dasar di FKTP. Pelayanan minimal yang harus adalah adalah deteksi dini diabetes, cek gula darah, dan memastikan ketersediaan obat-obatan antidiabetes, termasuk insulin.
Selain itu melakukan langkah mitigasi, yakni bagaimana mencegah agar pasien dengan komorbid yang berisiko mengalami gejala sedang hingga berat saat terinfeksi COVID-19, bisa diminimalisasi. “Edukasi juga harus terus dikedepankan sebagai salah satu upaya promotif dan preventif. SDM di Puskesmas bisa menggandeng komunitas-komunitas di masyarakat untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pengelolaan diabetes selama pandemi. Komunitas ini biasanya lebih didengar oleh masyarakat,” ujar Netty.
Pengelolaan Diabetes yang Optimal Bisa Kurangi Beban Ekonomi Penguatan layanan diabetes di Puskesmas, selain bisa menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien diabetes, serta menurunkan risiko gejala berat dan kematian akibat COVID-19, juga sangat menghemat pembiayaan BPJS Kesehatan. Diabetes adalah salah satu penyakit yang membawa beban ekonomi yang sangat besar, karena berbagai komplikasinya. Semakin tidak terkontrol kadar gula darah, maka semakin mahal cost yang harus dikeluarkan untuk perawatan medis. “Yang mahal bukan diabetesnya, tetapi juga biaya untuk komplikasinya. Misalnya penyandang diabetes memiliki hipertensi, penyakit ginjal, atau jantung maka obat untuk komplikasi itu juga harus diteruskan,” kata Suas.
Belum lagi jika bicara biaya tidak langsung seperti hilangnya produktivitas kerja dan biaya transportasi bolak balik ke rumah sakit. Berdasarkan data Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (CHEPS) Universitas Indonesia, jika tidak dilakukan intervensi di pelayanan kesehatan sejak dini, maka penanganan diabetes di pelayanan kesehatan diestimasi mencapai Rp 199 triliun, di mana Rp 142 triiliun untuk pembiayaan komplikasinya saja.
Komplikasi yang banyak diderita oleh pasien diabetes tipe 2 berupa mikrovaskular, seperti nefropati (penyakit ginjal), retinopati (kerusakan pembuluh darah di retina), dan makrovaskular seperti stroke dan penyakit jantung. “Diabetes adalah mother of disease. Dampak diabetes tipe 2 ini bisa menggerus pendanaan Jaminan Kesehatan Nasional di masa mendatang jika tidak ditangani dengan sangat serius. Maka tangani sejak di hulu, ketika penyakitnya masih di tahap dini,” kata Netty.