TEMPO.CO, Jakarta - Harga rokok yang murah membuka akses dan keterjangkauan bagi konsumen muda untuk merokok. Bahkan, saat ini proporsi umur pertama kali merokok pada penduduk Indonesia semakin meningkat dan semakin muda.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali, menilai tingginya prevalensi perokok anak karena maraknya peredaran rokok murah.
“Kenapa? Karena rokok relatif terjangkau dan aksesnya mudah sehingga anak-anak bisa membeli rokok. Data per 2018 menunjukkan hampir 75 persen perokok sudah memulai saat SMA," katanya.
Rokok murah mudah didapat. Bahkan, ada siswa yang membayar satu batang rokok antara Rp 1.000-1.500. Oleh sebab itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 terdapat kebijakan untuk mereformasi fiskal, termasuk di sektor cukai rokok.
Pungkas menilai sistem cukai yang berlaku di Indonesia saat ini berpotensi memicu terjadinya penghindaran pajak. Perusahaan juga bisa beralih dengan mudah dari golongan yang satu ke yang lain. Dia meyakini maraknya rokok murah ini perlu diantisipasi dengan serius oleh pemerintah lewat pengawasan harga transaksi pasar (HTP).
Baca Juga:
Sementara itu, rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta, Mukhaer Pakkanna, mendorong pemerintah melakukan pengawasan HTP secara efektif yang didukung oleh regulasi yang tegas.
“Penindakan jangan menunggu kejadian pelanggaran. Berapa pun jumlah pelanggaran yang terjadi hendaknya segera dilaporkan dan diberikan teguran dan sanksi,” ujarnya.
Dalam pengamatannya perusahaan rokok kini mulai menyiasati jumlah produksi agar dapat membayar tarif cukai lebih murah dan menjual produk lebih murah.
“Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan pengawasan HTP saja tetapi juga perlu pengawasan rokok secara keseluruhan" tegasnya.