TEMPO.CO, Jakarta - Laman Healthline menulis, menghela napas adalah jenis napas panjang dan mendalam. Awalnya menghela napas dimulai dengan mengeluarkan napas yang normal, lalu setelahnya mengambil napas kedua yang lebih dalam sebelum menghembuskannya.
Menghela napas kerap dikaitkan dengan suasana hati atau emosi. Misalnya menghela napas karena lega, sedih, atau lelah. Melansir Current Biology, menjelaskan adanya kaitan menghela napas dengan emosional.
Menghela napas sangat bekaitan dengan menggunakan ekspresi fisik, seperti gerakan tangan atau wajah, dan vokalisasi non-verbal. Terlepas dari perbedaan budaya, banyak ekspresi yang bermakna sama dalam budaya yang berbeda.
Salah satu penggunaan paling umum dari desahan napas adalah untuk mengungkapkan perasaan negatif seperti seseorang yang 'menyerah'. Sebaliknya, menghela napas juga digunakan untuk mengekspresikan emosi positif, seperti kelegaan.
Ada pula fungsi lain dari menghela napas terhadap tubuh. Menurut Healthline, menghela napas mampu akan mengempiskan kembali alveoli yang telah mengempis selama pernapasan normal. Hal ini akan membantu untuk menjaga fungsi resistensi paru-paru ke posisi normal.
Paru-paru terdiri dari ratusan juta alveoli sebagai unit pertukaran gas di ujung terminal saluran pernapasan. Selama pernapasan normal, alveolus kolaps secara spontan, suatu kondisi patologis yang dikenal sebagai atelektasis.
Menghela napas dihipotesiskan untuk membalikkan kolaps alveolar. Oleh karena itu, tarikan napas yang mengembangkan kembali semua alveoli akan mengisi semuanya dengan udara.
Menghela Napas Berlebihan
Nampak sepele, menghela napas secara berlebihan memungkinkan efek samping dalam tubuh seseorang. Misalnya meningkatkan kecemasan, stres, depresi, sampai kondisi pernapasan yang buruk.
Mengenai kecemasan, menghela napas secara berlebih akan meningkatkan rasa gugup dan tegang. Dapat pula berpotensi dyspnea. Menurut laman Alodokter dyspnea adalah istilah medis untuk sesak napas. Ini terjadi akibat tidak terpenuhinya pasokan oksigen ke paru-paru yang menyebabkan pernapasan menjadi cepat, pendek, dan dangkal.
Idealnya, orang dewasa dan remaja sehat akan bernapas sekitar 12-20 kali per menit. Namun saat mengalami dyspnea, pola dan frekuensi pernapasan akan berubah.
Dyspnea adalah ciri diagnostik utama dalam gangguan kecemasan seperti gangguan panik, fobia, dan gangguan stres pascatrauma. Menghela napas juga dipengaruhi karena rusaknya sirkuit saraf kontrol pernapasan. Dalam hal ini, cenderung berpotensi sama dengan sindrom Rett atau gangguan neurologis dengan salah satu cirinya adalah menghela napas yang berlebihan, menahan napas, dan hiperventilasi.
FATHUR RACHMAN