TEMPO.CO, Jakarta - Ibu hamil rentan mengalami depresi setelah melahirkan karena perempuan memiliki risiko tiga kali lebih besar mengalami depresi dari laki-laki. Psikolog klinis dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Nuran Abdat, menjelaskan kondisi depresi sindrom baby blues dan depresi postpartum pada ibu pascamelahirkan merupakan masalah mental yang berbeda.
"Perempuan itu memiliki risiko tiga kali lebih besar mengalami depresi dibanding laki-laki," ujar anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) itu.
Dia menambahkan depresi pada wanita dapat terjadi pada usia reproduktif 12-51 tahun. Sindrom baby blues adalah gangguan emosi yang umumnya muncul pada dua sampai tiga hari pascamelahirkan namun ada juga yang mengalami gejala ini hingga dua minggu kemudian. Gejala yang muncul antara lain perubahan emosi secara signifikan, sedih, mudah lupa, mudah tersinggung dan stres, kerap menangis, kualitas tidur berkurang, dan khawatir tidak bisa merawat bayi dengan baik.
Psikolog di RS Ummi Bogor itu menyebut sekitar 80 persen ibu hamil dan melahirkan mengalami sindrom baby blues sehingga kondisi tersebut umum terjadi. Namun, sindrom baby blues dapat memicu kondisi depresi yang lebih berat, yaitu depresi postpartum.
"Sekitar 80 persen wanita hamil dan melahirkan itu ternyata justru menghadapi kondisi baby blues yang lebih banyak. Akan tetapi, baby blues ini ternyata cikal bakal atau kemungkinan-kemungkinan orang menghadapi postpartum depression," paparnya.
Beda gejala
Berbeda dengan sindrom baby blues yang muncul selama dua minggu, depresi pascamelahirkan terjadi pada dua minggu sampai satu bulan setelah melahirkan dengan gejala yang berlangsung lebih lama hingga satu tahun. Dari faktor penyebab, sindrom baby blues disebabkan perubahan fisiologis setelah melahirkan dan intensitasnya dipengaruhi faktor psikologis.
Sementara itu, depresi pascamelahirkan lebih banyak dipengaruhi faktor psikososial seperti stres berlebih yang dikombinasikan perubahan hormon dan berbagai kesulitan yang dialami dalam kehidupan. Dampak psikologis akibat depresi pascamelahirkan juga lebih berat, di antaranya perasaan sedih dan putus asa berlebihan, cenderung merasa tidak berguna, dan tidak mampu menjadi ibu yang baik.
Penderita depresi pascamelahirkan juga mengalami kesulitan membangun ikatan dengan bayi, cemas berlebihan, pola makan tidak berkualitas, tidak memiliki ketertarikan untuk beraktivitas, hingga keinginan untuk bunuh diri atau membunuh bayinya. Karena itu, kondisi depresi pascamelahirkan lebih berbahaya karena tidak hanya memberikan dampak buruk pada ibu tetapi juga terhadap bayi, keluarga, dan orang-orang terdekat lainnya.
"Gejala-gejala ini tentunya dapat mengancam bukan hanya ibu, ternyata akan berdampak terhadap hubungan ibu sendiri dengan suami, anak, ibu mertua, teman-teman, dan siapapun," tegas Nuran.
Pilihan Editor: Siapa Bilang Baby Blues Hanya Dirasakan Perempuan Usai Melahirkan?