TEMPO.CO, Jakarta - Siapa pun bisa mengalami stres. Laporan dari Asosiasi Psikologis Amerika menyatakan pada 2023 sekitar sepertiga orang berusia 18–44 tahun menilai tingkat stres mereka 8–10 pada skala 1–10.
Dilansir dari Eating Well, spesialis penyakit dalam dan direktur medis di Wellbridge, Edmond Hakimi, mengatakan stres merupakan respons alami terhadap tuntutan dan tekanan hidup. Hal ini dapat dipicu berbagai faktor, termasuk tanggung jawab pekerjaan, masalah keuangan, masalah hubungan, dan perubahan besar dalam hidup.
Stres dapat menimbulkan dampak serius pada fisik, perilaku, dan mental yang sangat berefek pada kesehatan. Jadi, manajemen stres adalah bagian penting dalam menjaga kesehatan. Dampak stres pada fisik yang pertama adalah sistem kardiovaskular.
"Sistem kardiovaskular sangat rentan karena stres meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, yang dapat menyebabkan masalah jantung jangka panjang,” kata Marcus Smith, konselor profesional klinis dan direktur eksekutif di Alpas Wellness.
Kehadiran hormon stres seperti kortisol dan epinefrin menyebabkan stres oksidatif dan peradangan, yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serangan jantung.
“Stres juga dapat menyebabkan penyempitan pembuluh arteri koroner yang dapat mengakibatkan iskemia miokard,” kata Andrew Sherwood, pengajar ilmu psikiatri dan perilaku di Sekolah Kedokteran Universitas Duke University.
Gangguan pernapasan dan pencernaan
Stres tinggi juga memicu sistem pernapasan menjadi cepat dan pendek. Selain itu, risiko tertular penyakit pernapasan atau memperburuk kondisi pernapasan yang sudah ada juga lebih tinggi karena stres memperburuk respons imun tubuh. Ditambah lagi, sitokin inflamasi dilepaskan, yang meningkatkan produksi lendir dan menyempitkan saluran udara. Sistem imun tubuh juga melemah ketika tubuh mendeteksi stres.
"Sistem endokrin merespons dengan melepaskan hormon stres seperti kortisol, yang jika meningkat dalam jangka waktu lama dapat mengganggu fungsi metabolisme dan melemahkan sistem kekebalan tubuh,” kata Smith.
Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan memperburuk penyakit peradangan kronis, kata Sherwood. Pada sistem pencernaan, ketika kita stres, neurohormon yang disebut katekolamin dilepaskan, yang berdampak terutama pada sistem pencernaan. Pada akhirnya, aliran darah ke usus berkurang, yang bisa menyebabkan diare atau sembelit, tergantung orang.
Tidak mengherankan, penelitian menemukan stres berkaitan erat dengan sindrom iritasi usus besar (IBS). Selain IBS, Sherwood mengatakan stres juga dapat meningkatkan refluks asam.
Selain itu, stres bisa menyebabkan ketegangan otot. Bayangkan saja bagaimana perasaan Anda saat dipijat setelah seminggu bekerja yang penuh tekanan. Hal ini disebabkan rangkaian respons fisiologis yang terjadi ketika tubuh mengalami stres. Aktivasi sistem saraf simpatik akibat stres dapat menyebabkan ketegangan otot, sakit kepala, dan migrain, sebut Sherwood.
Terakhir, efek fisik stres adalah menghambat hasrat seksual dan fungsi reproduksi karena menekan pelepasan hormon reproduksi utama yang berperan dalam produksi testosteron dan fungsi ovarium. Akibatnya, stres kronis dapat menyebabkan menstruasi tidak teratur, penurunan kualitas sperma, bahkan kemandulan. Selain efek fisik, stres juga dapat menyebabkan efek mental seperti kecemasan dan depresi, gangguan kognitif, perubahan nafsu makan, dan gangguan tidur.
Pilihan Editor: Hindari Stres dan Kafein untuk Mencegah Gangguan Irama Jantung