TEMPO Interaktif, Bussum - Dasar perut Indonesia, belum kenyang rasanya jika belum makan nasi meski sudah terisi sandwich dan telor. Setelah beberapa hari mengikuti pelatihan jurnalistik di Radio Netherland Training Centre (RNTC) Bussum - Hilversum ( 30 menit dari Amsterdam), Belanda, rasa kangen makan makanan Indonesia mulai mengusik. Masak nasi sendiri tanpa ada lauk yang memadai menambah kangen sambel dan aneka masakan berbumbu khas Indonesia.
Setelah cari sana-sini, akhirnya kami menemukan Sinar Djaya, sebuah rumah makan dengan ciri khas becak dipampang di depan resto. Resto layanan 'bawa pulang' ini terletak di jalan Laarderweg 33 Bussum.
Baca Juga:
Adalah Hira Lal, seorang arek Malang Jawa Timur yang memiliki restoran ini sejak belasan tahun lalu. Sehari-hari Hira dibantu Ali dan Wawan untuk urusan masak dan beres-beres dapur. Tak hanya melayani pembeli yang berdatangan, Hira pun sering melayani katering hingga untuk ratusan orang. "Bukan orang Indonesia saja tapi orang Belanda," ujar Hira kepada Tempo dua pekan lalu.
Soal menu yang disajikan cukup komplet dan serba rames. Mulai dari nasi putih rames, nasi goreng, bakmi, nasi kuning, bihun, ayam panggang, koeloeyuk, hingga lontong. Juga ada rendang, ayam kecap, lodeh, acar, orak arik, hingga kerupuk dan rempeyek. Untuk camilan tersedia sebangsa lemper dan pisang goreng.
Harga untuk makanan utama berkisar antara 6,75 euro hingga 8,9 euro. Namun jika menambah menu atau lauk tentu akan menambah harga pula.
Makanan favorit yang paling disukai pembeli adalah nasi goreng rames yang terdiri dari nasi goreng, dilengkapi sayur buncis, sayur daging, rendang, lodeh Jawa Timuran. Para pembeli juga sangat menyukai kuah sayur daging kecap atau rendang. Setelah dimasukkan ke wadah dan dibungkus alumunium foil, Hira kemudian memanaskannya di microwave dan memberikan kepada pelanggannya.
Untuk ukuran lidah Indonesia, nasi goreng rames mungkin sedikit aneh, tapi bagi lidah Belanda ternyata malah jadi favorit. Saat hari libur dan hampir semua toko termasuk restoran tutup, restoran Hira ini menjadi tempat tujuan mereka yang mencari makanan. "Enak banyak saus dan bumbunya," ujar seorang pengunjung.
Karena tak melayani makan di tempat, si pemilik hanya menyediakan bufet penyimpan makanan seluas 1 meter x 2,5 meter. Hanya tiga bangku tinggi di resto yang mungkin lebih cocok disebut warung. Sebuah laptop menemaninya disela-sela menunggu pembeli. Dalam sehari puluhan pelanggan mendatangi restoran pria penggemar rokok kretek ini.
Semula kami agak ragu-ragu masuk ke Sinar Djaya karena lazimnya harga mahal makan resto di sana tergolong mahal untuk ukuran kocek Jakarta. Namun komunikasi teman-teman yang kebanyakan Jawa Timuran mampu mencairkan suasana dan mendapatkan harga khusus hingga kami jadi berlangganan di saat jatah katering di RNTC libur.
Untuk bahan dagangan, Hira dan Ali biasanya berbelanja di kota tak jauh dari Bussum, Ameersford minimal sepekan sekali. Untuk bumbu seperti lengkuas, sereh, bawang, atau bumbu lainnya berasal dari Thailand.
"Lengkuas dan sereh sebenarnya lebih enak dari Indonesia, tapi yang ada dari Thailand atau Vietnam. Produk kita kalah bersaing," ujar Ali.
Selain Sinar Djaya, ada pula restoran Indonesia Candi Borobudur. Namun Sinar Djayalah yang cukup dekat dengan hotel tempat kami menginap. Cukup berjalan kaki 15 menit meski kedinginan atau naik bus 107 ke arah Bussum dan berjalan kaki lima menitan.
DIAN YULIASTUTI