TEMPO.CO, Jakarta - Nathanael E.J. Sumampouw menyatakan anak-anak bisa mengalami trauma seperti yang dirasakan orang dewasa.
Dalam bincang-bincang bersama Forum Ngobras di Nutrifood Inspiring Centre, Matraman, Jakarta Timur, dosen yang akrab disapa Nael ini menerangkan bahwa reaksi traumatik pada anak berbeda.
"Kadang orang pikir trauma itu sedih, depresi, jadi mellow, dan senang menceritakan kisah sedih. Memang benar ada yang menjadi pasif, tapi juga ada yang malah menjadi agresif," katanya, Selasa, 19 Januari 2016.
Indikatornya, ada perubahan signifikan. Misalnya, anak yang tadinya tidak mengompol jadi mengompol dan yang tadinya berani jadi nempel terus dengan orang tuanya.
Ia menjelaskan, intinya, anak yang trauma akan mengalami perubahan mental dan memperlihatkan reaksi traumatik. "Jadi orang terdekatlah yang bisa melakukan deteksi dini," ucap pria yang akrab disapa Nael ini.
Sementara itu, menurut Nael, ada tiga tingkatan trauma pada anak. Ia memberi contoh mengenai anak yang trauma akan kejadian teror sepekan lalu.
Tingkat yang pertama, si anak selalu menghindari lokasi ledakan. Kedua, anak selalu teringat kejadian yang membuatnya trauma. "Jadi seperti film, muter terus. Contohnya bisa datang dari mimpi," ujarnya.
Terakhir bernama tingkat hyperarousal, misalnya anak bisa gemetaran hanya karena dengar balon meletus.
Pria yang mendapatkan gelar master dalam bidang psikologi klinis di Universitas Indonesia pada 2007 ini menuturkan trauma anak tidak akan hilang karena sudah terekam dalam memori mereka. "Yang kita lakukan adalah bantu anak agar kejadian tersebut dimaknai secara positif," tuturnya.
DINI TEJA