TEMPO.CO, Jakarta - Diabetes rupanya tak memandang umur. Di usianya yang saat itu menginjak 9 tahun, Fulki Baharuddin Prihandoko kerap ngompol atau pipis saat tidur di malam hari. Tidak ada kecurigaan yang berarti, karena memang sebelum tidur Fulki sering merasa haus dan menenggak air putih sebanyak 1 liter sehingga kondisi tersebut yang dianggap sebagai penyebabnya sering ngompol.
Baca juga:
Awas 8 Bahaya Diabetes, dari Masalah Jantung sampai Urusan Seks
Bubur Tak Disarankan Dikonsumsi Penderita Diabetes? Cek Alasannya
Kedua orang tuanya pun lantas memeriksakan Fulki ke dokter anak yang kemudian memberinya obat infeksi saluran kemih. Memang saat itu kebiasaan ngompolnya sempat terhenti tetapi muncul kembali setelah obatnya habis. Uki lalu dicek ke dokter urologi, ternyata tidak ada masalah apapun pada saluran kemihnya.
Lambat laun, kedua orang tuanya semakin merasa aneh dan curiga ketika melihat lantai kamar mandi terasa lengket dan dihinggapi semut. Apalagi berat badan buah hatinya tersebut terus menurun bahkan hampir 10 kilogram, rambutnya sering rontok, dan mengeluhkan lemas.
Akhirnya Uki dibawa ke dokter untuk dilakukan pengecekan mendalam, termasuk pemeriksaan gula darah. Betul saja, ternyata saat itu gula darahnya mencapai 750 mg/dL. Sangat tinggi, jauh melebihi batas normal gula darah yaitu 70 hingga 180 mg/dL.
“Ternyata Fulki menderita diabetes tipe 1. Kami semua tidak ada yang menyangka karena dia jarang mengonsumsi makanan manis, badannya pun cukup ideal sebelum didiagnosis diabetes,” ujar Aisyah Rahma, ibunda Fulki.
Sejak saat itu, bocah yang kini telah menginjak usia 12 tahun, harus rutin menyuntikkan insulin ke tubuhnya sebelum makan, sebanyak 4 kali sehari untuk mengontrol kadar gula darah.
Memang tidak mudah bagi anak sekecil itu untuk terus memberikan suntikan insulin ke tubuhnya, yang bahkan harus dilakukan seumur hidup. Apalagi dia harus rutin melaporkan kadar HbA1C atau konsentrasi gula darah dalam jangka panjang ke dokter.
Namun, berkat dukungan semua pihak keluarga dan teman, siswa kelas VII SMP Al Azhar Jakarta tersebut tetap semangat dan percaya diri. Fulki bahkan tidak menjadikan penyakitnya tersebut sebagai penghalangnya dalam meraih prestasi dan cita-citanya. Dia aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah.
Seorang petugas melakukan pengecekan darah pasien di klinik SS Diabetes, Jakarta, 22 April 2016. REUTERS/Beawiharta
Fulki hanya satu dari 1.213 penderita diabetes melitus tipe 1 di Indonesia. Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) jumlah penderita diabetes tipe 1 pada anak usia 0 hingga 18 tahun melonjak 700% selama 10 tahun terakhir.
Dokter spesialis anak sekaligus Ketua Pengurus Pusat IDAI Aman Bhaktu Pulungan mengatakan bahwa diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah dan siapapun bisa mengalaminya. Paling banyak terjadi pada anak usia 5 hingga 14 tahun.
Faktor penyebab diabetes tipe 1 tidak terlalu berkaitan erat dengan gaya hidup tidak sehat, seperti halnya diabetes tipe 2. Melainkan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kecenderungan genetik, faktor lingkungan, sistem imun yang menurun, dan sel beta pankreas yang peranannya masing-masing terhadap proses diabetes tipe 1 belum diketahui.
Aman mengatakan bahwa jika penyintas diabetes tipe 1 terlambat terdeketsi secara dini, dapat mengalami komplikasi dan penyakit berat lainnya seperti odema otak, serangan jantung, serta koma diabetik yaitu kehilangan kesadaran karena kadar glukosa pada darah sangat tinggi.
“Sekitar 72 persen di antaranya baru dibawa ketika sudah menderita komplikasi koma diabetik karena orang tua merasa anaknya sehat dan adanya anggapan bahwa anak tidak mungkin terkena diabetes,” ujarnya.
Baca juga: Mengapa Terjadi Komplikasi pada Penderita Diabetes? Cek Kata Ahli
Diagnosis dini, terutama kepedulian orang tua terhadap kondisi anak sangat penting dilakukan sehingga dapat menurunkan risiko komplikasi pada anak.
Berikutnya, selain suka ngompol dan selalu haus, apa lagi gejala diabetes pada anak yang harus diwaspadai?