TEMPO.CO, Jakarta - Hipertensi adalah salah satu masalah kesehatan yang perlu diperhatikan sebab merupakan penyakit degeneratif yang jika tidak dikontrol dapat menyebabkan kerusakan organ hingga kematian.
Dokter spesialis jantung yang juga anggota Perhimpunan Hipertensi Indonesia, Erwinanto, mengatakan ada dua tantangan utama dari pengobatan guna mengontrol hipertensi di Indonesia. Yang pertama adalah banyaknya pasien berhenti minum obat lantaran dianggap sembuh.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, terdapat 54,4 persen pasien hipertensi yang rutin mengonsumsi obat. Sebaliknya, 58,8 persen lain berhenti minum obat setelah tekanan darah kembali normal. Padahal, hipertensi adalah penyakit seumur hidup yang bisa dikontrol dengan obat saja.
“Ini masih menjadi tantangan karena masih banyak orang menganggap kalau hipertensi bisa sembuh. Padahal hanya bisa dikontrol dengan cara minum obat seumur hidup,” katanya dalam acara Media Gathering di Jakarta pada Senin, 24 Februari 2020.
Tantangan lain adalah akses pelayanan kesehatan di kota kecil. Data Riskesdas 2018 mengatakan bahwa 31,3 persen pasien hipertensi enggan pergi ke dokter lantaran puskesmas dan rumah sakit yang jauh. Padahal, menurut Erwinanto, seseorang dengan indikasi pengukuran tekanan darah tinggi di atas 140 per 90 mmHg berulang wajib pergi ke dokter.
Erwinanto mengatakan bahwa pergi ke dokter sangat penting untuk mempertegas diagnosa. Adapun, obat-obatan hanya bisa diresepkan oleh dokter.
“Karena dalam kondisi tertentu, obat pasti berbeda. Cukup ketemu kita sekali saja, nanti diberi obat, selanjutnya bisa beli sendiri kalau habis. Kunci awalnya ke dokter dulu, bukan langsung beli obat sembarangan,” katanya.