TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis saraf Dr. Andreas Harry Sp.S (K) mengatakan demensia dan Alzheimer ternyata hanya sekitar 5 persen yang disebabkan faktor keturunan.
"Sedangkan 95 persen lain karena faktor sporadis atau didapat, yakni faktor risiko lingkungan," katanya.
Baca Juga:
Membahas topik mengenal demensia-Alzheimer, ia menjelaskan untuk penyakit Alzheimer (AD) sporadis dapat dicegah dengan pola nutrisi yang baik. Demensia dalam pengertian umum dikenal sebagai penyakit kepikunan. Selain itu, dalam pencegahan juga memerlukan pola olahraga, pengendalian emosi, pola tidur, dan juga pola pikir yang baik.
Menurut neurolog lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, pada gejala klinis yang sifatnya turunan dan sporadis sebenarnya sama persis. Hanya saja, yang membedakan hanyalah pada persoalan onset. Pada kelompok turunan, biasanya di bawah usia 65 tahun (early onset), sedangkan sporadis terjadi di atas 65 tahun (late onset).
"Perbedaannya di patofisiologi terbentuknya amyloid beta 40 dan 42," katanya.
Ia menambahkan untuk faktor risiko pada umur di atas 65 tahun ditandai dengan gangguan kognitif ringan. Sindrom demensia lain yakni bersifat gender, di mana wanita lebih banyak mengalami. Faktor lain yakni trauma kepala, diabetes melitus atau kencing manis, stroke, diet berlebihan, dan hipertensi.
Menurutnya ada juga gejala klinis yang ditandai dengan tiga stadium, yakni stadium 1 mild stage berupa gangguan memori ringan hingga berat, gangguan bahasa, gangguan emosi, dan lainnya. Lalu, stadium moderate, ditambah depresi, halusinasi visual, delusi, dan psikosis. Sedangkan yang ketiga, stadium severe berupa bed ridden hingga menuju kematian.
Menurut Harry, dengan mengetahui gejala dari sindrom tersebut maka perlu dilakukan berbagai upaya, seperti pengobatan, simptomatik, imunoterapi antibodi, dan imunisasi.
"Namun, untuk imunisasi bagi pasien Alzheimer-demensia ini masih dalam penelitian," jelas Harry.
Baca juga: Konsumsi Zat Gizi ini, Cegah Demensia dan Gangguan Kognitif Lainnya