TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia saat ini sedang fokus eliminasi tuberkulosis alias TBC. Dalam mencapai eliminasi TBC pada 2030, masih banyak yang harus dilakukan. Masih ada berbagai hal yang menjadi tantangan dalam mengatasi penyakit menular itu. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi dalam Pertemuan Outlook TBC 2023 mengatakan ada 4 faktor yang berpengaruh untuk pengaruhi progres pemerintah eliminasi TBC di Indonesia. “Secara umum, ada empat hal terkait kesehatan yang mungkin akan berpengaruh juga terhadap progres eliminasi TBC di Indonesia,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi dalam Pertemuan Outlook TBC 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu 11 Januari 2023.
Dalam jurnal milik The Economist Intelligence Unit (EIU) melalui publikasinya terkait Health Care Outlook 2023, Imran menuturkan empat hal yang kemungkinan akan mempengaruhi penanganan TBC di seluruh dunia termasuk Indonesia. Salah satu yang utama terjadi adalah angka mutlak belanja kesehatan akan turun pada 2023 karena gejolak ekonomi yang menghadapi tantangan besar.
Baca Juga:
Tantangan tersebut berupa adanya kemungkinan dunia menghadapi inflasi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi. Situasi ekonomi yang mengkhawatirkan itu kemungkinan juga akan berdampak pada berkurangnya donasi-donasi atau hibah yang didapatkan dari filantropis atau perusahaan untuk berbagai kegiatan kesehatan di Indonesia.
Faktor kedua dalam upaya eliminasi TBC adalah digitalisasi dalam sistem perawatan kesehatan akan terus berkembang. Penggunaan data kesehatannya akan lebih diperketat dan diatur berdasarkan kawasan atau negara misalnya seperti di Amerika Serikat, Eropa, dan Cina.
“Ini sudah mulai terlihat terutama terkait dengan pertukaran data. Di Kemenkes, Menteri Budi juga meminta agar semua sistem informasi terkait kesehatan diintegrasikan di SatuSehat,” katanya.
Menurut Imran, integrasi data akan mendorong pengumpulan data menjadi lebih efisien dan keamanannya menjadi lebih terjaga.
Faktor ketiga yang menjadi tantangan eliminasi TBC adalah dalam hal keterbatasan akses. Menurut Imran, akan ada keterbatasan akses yang bisa berdampak pada kontrol harga obat-obatan seperti di Amerika Serikat dan India. Hal ini memaksa beberapa perusahaan farmasi besar untuk memacu pertumbuhan melalui kesepakatan. Bisa saja hal ini berdampak pada penelitian dan pengembangan obat-obatan untuk alat-alat diagnostik. "Sehingga perlu diantisipasi terutama untuk bidang terkait dengan uji coba obat-obat atau alat-alat baru ini perlu kita cermati,” ujar Imran.
Faktor terakhir yang pastinya bisa berdampak pada eliminasi TBC adalah adanya gangguan pada rantai pasokan yang akan terus meningkatkan biaya pembuat obat. walaupun ada investasi dalam produksi farmasi yang lebih lokal namun saat ini seluruh dunia masih menghadapi pandemi COVID-19. "Sehingga dikhawatirkan penanganan TBC dapat semakin terganggu karena adanya lockdown yang berdampak pada ketersediaan bahan baku," kata Imran menambahkan.
Imran pun mendorong adalah kerja sama yang lebih optimal dalam mendayagunakan sumber daya antar pihak.
Kemenkes dalam upayanya eliminasi TBC saat ini secara masif mendorong kabupaten/kota membentuk desa siaga TBC dan kabupaten/kota bebas TBC. Pembentukan forum multisektor juga digencarkan guna mempercepat capaian dan eliminasi TBC secara “bottom up”.
Pada akhir tahun lalu, Kemenkes juga sudah berdialog dengan Sekretariat Negara untuk membuat suatu laporan yang nantinya akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo, supaya dapat mengetahui perkembangan terkait penanganan tuberkulosis. “Tinggal satu setengah tahun lagi beliau menjabat. Oleh karena itu, untuk menghasilkan yang terbaik kita harus memaksimalkan bantuan Bapak Presiden atas upaya melakukan eliminasi TBC di Indonesia menuju tahun 2030,” kata Imran.
Baca: Perlunya Skrining Tuberkulosis untuk Mengendalikan Kasus