TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membatasi konsumsi aspartam atau pemanis buatan pada makanan dan minuman maksimal 40 mg per kg bobot tubuh per hari untuk mencegah risiko efek buruk pada kesehatan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menggolongkan aspartam atau pemanis buatan sebagai bahan baku kimia pada makanan dan minuman yang perlu dibatasi konsumsinya agar tidak menimbulkan risiko kesehatan. Aspartam adalah senyawa yang terbuat dari fenilalanin dan asam aspartat yang berfungsi menggantikan gula atau pemanis pada produk makanan dan minuman yang dijual bebas di pasaran.
"Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nutrients (2021), aspartam memiliki tingkat kemanisan sebesar 180-200 kali lebih manis daripada sukrosa. Karena itu, aspartam kerap digunakan sebagai gula diet untuk penderita diabetes," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, Maxi Rein Rondonuwu.
Sejumlah gangguan kesehatan yang menjadi dampak negatif aspartam antara lain berat badan naik jika dikonsumsi berlebihan.
"Kondisi itu berisiko mengganggu metabolisme di dalam tubuh yang memicu peningkatan berat badan. Selain itu, makanan yang mengandung aspartam sering kali terbuat dari bahan lain yang memiliki kalori tinggi," jelasnya.
Jika makanan tersebut dikonsumsi melebihi batas wajar maka dapat menaikkan berat badan hingga menyebabkan obesitas. Aspartam juga memperburuk migrain sebab dapat menghasilkan produk sampingan berupa glutamat saat diolah metabolisme tubuh. Apabila kadar glutamat melebihi batas normal, kondisi tersebut berisiko menyebabkan sakit kepala serta memperburuk gejala migrain, kata Maxi.
Konsumsi aspartam secara berlebihan juga dapat memicu gangguan perilaku sebab kandungan asam aspartat dan fenilalanin yang akan diubah menjadi metanol, di mana senyawa-senyawa tersebut dapat mempengaruhi fungsi kognitif, suasana hati, aktivitas motorik, pola tidur, serta nafsu makan. Maxi mengatakan komplikasi fenilketonuria juga bisa disebabkan aspartam. Komplikasi itu berupa kelainan genetik yang menyebabkan penderita tidak mampu mengurai fenilalanin dengan baik.
"Maka dari itu, penderita fenilketonuria perlu menghindari konsumsi produk yang mengandung fenilalanin seperti aspartam karena berisiko menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya kerusakan otak," ujarnya.
Kerusakan pankreas
Salah satu gangguan kesehatan yang menjadi dampak negatif dari aspartam adalah diabetes. Meski kerap digunakan sebagai pengganti gula untuk penderita diabetes, konsumsi aspartam secara berlebihan justru dapat meningkatkan kadar gula darah yang memicu terjadinya kerusakan pankreas.
"Akibatnya, produksi hormon insulin dalam tubuh jadi terganggu sehingga berisiko menyebabkan diabetes," lanjutnya.
Menurut Maxi, metanol yang dihasilkan melalui metabolisme aspartam juga berisiko meningkatkan radikal bebas sehingga turut memicu kerusakan sel-sel di dalam tubuh, termasuk sel pada sistem saraf.
"Karena itu, aspartam yang dikonsumsi secara berlebihan dan dalam jangka panjang dapat memperburuk kerusakan sistem saraf yang meningkatkan risiko penyakit degeneratif progresif, salah satunya adalah penyakit Alzheimer," katanya.
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan pada jurnal PLOS Medicine pada 2022, konsumsi pemanis buatan, terutama aspartam dan akesulfam-K, secara berlebihan berpotensi meningkatkan risiko kanker seperti kanker payudara dan kanker darah.
"Namun, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak konsumsi aspartam terhadap risiko penyakit kanker," tutur Maxi.
Pilihan Editor: WHO Resmi Keluarkan Pembatasan Asupan Pemanis Buatan