TEMPO.CO, Jakarta - Ahli endokrin-metabolik Laurentius Aswin Pramono mengatakan belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. "Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 25 September 2024.
BPA (Bisphenol-A) banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita dan sering berkontak dengan kita. Tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain misalnya thermal paper yang digunakan pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
Akhir-akhir ini, BPA sering dituding sebagai salah satu risiko permasalahan kesehatan. Ditengarai, BPA bersifat sebagai endocrine disruptor, yang bisa menyerupai hormon estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan berefek pada kelenjar prostat.
Aswin mengatakan pedoman dunia kedokteran dan kesehatan yaitu evidence-based medicine (kedokteran berbasis bukti). Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah yaitu studi meta-analisis. “Studi meta-analisis mengompilasi berbagai hasil penelitian lalu dianalisis lagi untuk melihat bagaimana hasil-hasil studi yang ada,” kata Aswin.
Ia melanjutkan, sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba. “BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba,” kata Aswin. "BPA tidak masuk ke guideline manapun sama sekali."
Hal senada disampaikan oleh Guru Besar dalam bidang ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB, yang juga ahli polimer Nugraha Edhi Suyatma. Menurut Nugraha Edhi Suyatma, studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat. Ia melanjutkan, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan BPOM 0,05 mg/kg. “Selain itu, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merk yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” katanya memaparkan.
Adapun TDI (tolerable daily intake) yang ditetapkan yaitu 4 mg per kilogram per berat badan. Jadi misal berat badan orang 75 kilogram, maka batas asupan harian BPA maksimal yaitu 300 miligram. Sekalipun air minum terpapar oleh BPA, kadarnya hanya 1/1.000 bagian. “Butuh 10.000 liter air dalam sekali minum untuk bisa mendapatkan kadar BPA yang melebihi ambang batas aman. Itu kan hal yang mustahil,” ujar Aswin.
Fakta lainnya, tubuh kita akan memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA. BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak terakumulasi di dalam tubuh. “Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, dan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan dibuang melalui urin,” kata Aswin.
EMA (European Medicines Agency) dan BfR (Federal Institute for Risk Assessment - Jerman) misalnya, memiliki nilai referensi yang lebih tinggi, yaitu 50 mikrogram/kg berat badan per hari. Adapun BfR menetapkan batas 0,2 mikrogram kg BB/hari. Sebagai informasi, 1 mikrogram = 1.000 nanogram. Maka bila dikonversi ke nanogram, TDI di Jerman yaitu 200 nanogram/kg BB/hari.
Di Indonesia, batas aman toleransi atau TDI BPA belum diatur, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan batas migrasi maksimum BPA 0,05 miligram per kilogram. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Aswin mengingatkan kembali bahwa isu bahwa BPA menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, infertilitas dan lain-lain, adalah mitos yang menyesatkan. “Tidak ada satu pun dari penyakit ini yang disebabkan oleh BPA. Penyebab diabetes bukanlah BPA, melainkan penurunan produksi insulin akibat gaya hidup yang kurang baik, dan usia,” kata Aswin. Demikian pula dengan kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya.
Aswin menambahkan jangan mudah termakan isu yang beredar dan tidak bisa dipercaya kebenarannya. “Jangan khawatir berlebihan dengan isu-isu seperti itu. Banyak sekali bahan kimia yang lebih berisiko, misalnya asap rokok, sedangkan BPA belum masuk kategori karsinogen. Jangan sampai terlalu cemas sampai tidak mau minum air. Hiduplah yang baik-baik saja,” kata Aswin.
Pilihan Editor: Ahli Polimer Sebut Jumlah BPA di Galon Polikarbonat Sangat Kecil