TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada banyak jalan virus hepatitis C (VHC) bersarang di hati seseorang, dari lewat jarum suntik narkoba, jarum untuk membuat tato yang tidak steril, menindik, hingga hubungan seksual yang tidak aman. Virus ini juga mengintai pasien cuci darah atau hemodialisis, terlebih bagi mereka yang memakai produk darah yang belum diskrining VHC.
"Tenaga medis juga termasuk kelompok berisiko akibat kontaminasi alat medis," ujar Dr Unggul Budihusodo, SpPD-KGEH, Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, saat Seminar Permasalahan hepatitis C di Indonesia di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Virus hepatitis C amat variatif secara genetik. Virus ini memiliki angka mutasi atau perubahan genetik yang tinggi sehingga tidak dikenali oleh antibodi tubuh. Hal itu ditambah dengan tingginya produksi VHC, yang memastikan munculnya beragam generasi VHC. Akibatnya, belum ada vaksin yang berhasil dibuat untuk mencegah infeksi VHC pada manusia.
Yang menarik, menurut Unggul, perjalanan alamiah infeksi VHC pada perempuan ternyata berjalan lebih lambat ketimbang pada pria. Sama halnya perjalanan infeksi pada orang berusia muda yang lebih lambat daripada orang tua. "Batasan usia muda itu kurang-lebih di bawah usia 20 tahun, sedangkan yang tua adalah di atas 30 tahun," kata Unggul.
Ia menambahkan, yang mempercepat proses itu, misalnya, ada infeksi tambahan dari virus hepatitis B atau HIV. "Lebih tepat, kalau sudah kena VHC, jangan sampai kena yang B dan A, serta jangan minum alkohol," tuturnya.
Berita baiknya adalah penularan VHC dari orang ke orang diketahui persentasenya mendekati nol. "Kurang dari 1 persen," Unggul menambahkan. Ini berbeda dengan hepatitis B, yang lebih mudah menulari orang, terutama dalam keluarga. Sebab, VHC tidak menular melalui bersin, memeluk, batuk, makanan, air, peralatan makan, dan kontak biasa.
Di Indonesia, jumlah penderita hepatitis C mencapai 7 juta jiwa. Sedangkan di seluruh dunia penderitanya sekitar 170 juta orang.
Menurut para ahli, virus ini tidak menimbulkan gejala khusus (silent disease). Penderitanya bisa saja tidak menyadari ada VHC di dalam tubuhnya. Padahal komplikasi jangka panjang akibat penyakit ini bisa menyebabkan kematian. "Biasanya pasien meninggal setelah tahapan terkena sirosis dan berkembang menjadi kanker hati," ujar lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Secara medis, sirosis merupakan proses lanjutan penyakit hati yang merusak struktur dan fungsi hati. Dan pencangkokan hati dinilai efektif pada penderita yang sirosisnya telah akut. Asalkan, Unggul menggarisbawahi, pasien mesti menjauhi alkohol sehingga hati yang dicangkokkan tidak mengalami sirosis kembali.
Standar emas terapi VHC saat ini adalah kombinasi pegylated interferon alfa (obat suntik) dan ribavirin (tablet). Cukup disuntik sekali sepekan ditambah meminum obat tablet. Kombinasi ini memberikan angka kesembuhan lebih tinggi ketimbang yang konvensional, yakni obat tablet saja.
Obat-obat ini diberikan sesuai dengan berat badan pasien, yaitu dengan dosis 1,5 µg per kilogram berat badan. Durasi terapi tergantung genotipe VHC-nya. "Kalau genotipe 1, terapinya selama satu tahun, sedangkan jika genotipenya 2 dan 3, terapi dilakukan cuma 6 bulan," ujar Unggul. Genotipe VHC tercatat dari 1 hingga 6.
Virus VHC tipe 1 diketahui paling bandel, tapi justru banyak diderita pasien. Peluang kesembuhan orang dengan VHC tipe 1 sekitar 40 persen. Sementara itu, VHC tipe 2 dan 3 peluang kesembuhannya mencapai 80 persen. Kemudian dari faktor manusianya, pasien perempuan dan orang muda lebih mudah disembuhkan. Bahkan pada anak-anak muda tingkat kesembuhannya mendekati 100 persen.
Sayangnya, harga obat terapi masih cukup mahal. Profesor Dr H Ali Sulaiman, PhD, SpPD-KGEH, mengatakan satu kali injeksi biayanya mencapai Rp 2 juta. "Tinggal dihitung saja, kalau dalam setahun, bisa seharga satu mobil Kijang Innova," kata staf Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Sementara itu, berdasarkan survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia, menurut Andi Muhaidin, Direktur Sepimkesma Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, ditemukan bahwa karyawan swasta ternyata lebih banyak menderita penyakit hepatitis C ketimbang profesi lain, misalnya, pegawai negeri.
Untuk itu, setiap individu--terutama kelompok berisiko--harus melakukan checkup untuk mengetahui keberadaan VHC di dalam tubuhnya. "Lebih bagus saat usia muda ditemukan, ketimbang (diketahui) saat usia 40, yang lebih sulit disembuhkan," ujar Unggul.
HERU TRIYONO