Di kebun itu Fadly menanam sayuran, seperti selada, sawi, tomat, cabai, basil, dan kemangi; serta tumbuhan rempah dan obat, seperti serai, lengkuas, sirih merah, binahong, temulawak, dan pegagan. Dia juga memelihara 50 ekor ayam kampung dan lebih dari seribu ekor ikan nila, bawal, serta gurami di kolam berukuran 1,5 x 10 meter.
Tidak saban hari Fadly dan keluarga mengkonsumsi pangan organik. Kebun itu mereka panen sekali sepekan dan hasilnya pun tak banyak karena lahannya yang terbatas. Fadly tak mempermasalahkan hal itu. Yang penting, ia sejak dini bisa mengajarkan gaya hidup sehat kepada keluarganya. Syukur-syukur jika orang di sekelilingnya terpengaruh untuk meniru. “Kalau hasil panen sayuran yang ada kebetulan banyak, kadang kami bagi-bagi juga ke sahabat sebagai hadiah,” ujar ayah dari Bilal, Aidan, Fathimah, dan Hasan itu.
Pasangan Soeparwan Soeleman, 55 tahun, dan Donor Rahayu, 53 tahun, juga membuat kebun organik di rumahnya di Jalan Cilandak Nomor 5, Bandung. Kebun di depan rumah itu disesaki puluhan tanaman dalam pot kecil hingga rosemary dan jeruk. Begitu pula kebun di halaman belakang dan lantai atas rumah dua tingkat itu, penuh dengan beragam sayur dan buah. Luas total kebun mereka mencapai 200 meter persegi. "Saya bikin kebun sayur di rumah supaya lebih gampang mengambil hasilnya untuk dimakan," kata Soeparwan pada Selasa lalu.
Sejak 2009 suami-istri lulusan ITB dari Jurusan Teknik Elektronika dan Biologi itu banting setir menjadi pengusaha pertanian organik. Mereka menggarap kebun seluas 3.500 meter persegi di daerah Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.
Mereka membangun usaha Fam Organic Home dan membuka toko di rumahnya. Toko itu menjual macam-macam barang yang terkait dengan pertanian organik, dari buku, cenderamata berupa tanaman kecil; beragam benih sayuran, bunga, dan buah; pupuk, hingga peralatan bercocok tanam.
Pasangan yang dijuluki “green couple” oleh komunitas pangan organik itu juga ingin hidup lebih sehat dengan mengkonsumsi makanan organik. Mereka memilih untuk menanamnya sendiri setelah belajar secara otodidaktik dari berbagai jurnal dan riset penelitian di luar negeri. "Di sini susah mencari bahannya. Di sekolah dan kampus pun belum ada mata kuliah tanaman organik," ujar Soeparwan, yang pensiun dini dari IBM untuk mengurusi kebunnya.
Untuk konsumsi sehari-hari, mereka sebetulnya lebih percaya kepada sayuran dari kebun sendiri, karena tahu persis prosesnya memenuhi standar pertanian organik. Tapi, karena tanaman organik masih terbatas jenisnya, mereka masih mengkonsumsi makanan non-organik. "Paling tidak bahannya kami masak sendiri dan jajan sudah jauh berkurang," katanya.
Bisnis utama mereka adalah mengelola kebun di Parongpong yang dibantu seorang pegawai Dinas Pertanian Bandung yang tertarik menerapkan pertanian organik dan empat karyawan. Pedagang sayuran organik juga telah mengajak mereka bekerja sama. Walaupun begitu, selama enam bulan pertama mereka mengalami cobaan cukup berat. Menanam sayur tanpa pestisida membuat hama merebak dan menyerang tanaman mereka.
Mereka lalu belajar mengendalikan hama tanpa harus membunuhnya, seperti melakukan rotasi tanaman untuk memotong siklus hidup hama, mengatur letak jenis berbagai jenis tanaman agar hama bingung mencari tanaman kesukaannya, dan memakai tanaman pengalih, seperti tumbuhan bunga berwarna cerah. "Cara-cara tersebut mulai stabil hasilnya di tahun ketiga," kata Soeparwan. Hasil kebun itu kini dipasarkan di sejumlah pasar swalayan di Bandung.