Lantas mengapa kangkung yang bisa dengan mudah kita temukan di rawa-rawa Indonesia harus diatur sedemikian ketat di Amerika? Benarkah kangkung mengandung zat psikotropika yang juga terkandung dalam daun ganja? Baca: Pelecehan Seksual di National Hospital, ini Cara Pencegahannya
Alasan utama pelarangan kangkung di AS sebenarnya tidak terkait dengan zat LSD. Kangkung merupakan tanaman air yang sangat agresif. Daniel F. Austin, seorang professor ilmu tanaman di University of Arizona, mengkategorikan kangkung sebagai tanaman invasif yang merusak ekosistem. Kangkung tumbuh sangat cepat hingga menutupi perairan. Kangkung diregulasi dengan ketat karena dapat menimbulkan berbagai masalah, mulai dari mengganggu tanaman lain hingga menyulitkan sistem pengendalian banjir. Di beberapa kawasan, kangkung yang menutupi perairan bahkan sanggup menghambat laju sebuah kapal.
Bagaimana dengan kandungan zat psikotropika? Sampai saat ini belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa kangkung mengandung LSD. Prasangka ini mungkin saja mengacu pada tanaman lain yang memang masih satu genus dengan kangkung yakni genus Ipomoea.
Dua tanaman yang masih masuk keluarga kangkung dan diketahui mengandung LSD adalah Ipomoea violacea dan Ipomoea corymbose (sering juga disebut Turbina corymbose) yang berasal dari Amerika Selatan. Albert Hofmann dan Richard Evans Schultes dalam bukunya yang berjudul Plants of Gods (1979) menceritakan kedua tanaman ini sering dimanfaatkan oleh suku asli Indian untuk pengobatan dan ritual kepercayaan. Para shaman atau dukun suku Aztec biasanya mengonsumsi biji Ipomoea corymbose—dalam bahasa lokal disebut ololiuqui—untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Kedua tanaman inilah yang mengandung zat psikotropika yang memabukkan.
Schultes dalam bukunya yang lain berjudul A Golden Guide Hallucinogenics Plants (1977) menceritakan ketika Kerajaan Spanyol mulai menjajah Meksiko, ololiuqui mulai dibatasi penggunannya. Namun tanaman yang masih keluarga kangkung ini tetap populer digunakan.
Buku A Golden Guide Hallucinogenics Plants yang ditulis Richard Evans Schultes—seorang Amerika yang dijuluki bapak etnobotani modern—merupakan salah satu rujukan utama untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman yang mengandung zat psikotropika. Untungnya, Schultes tidak sekalipun menyinggung kangkung yang nikmat (Ipomoea aquatica) mengandung LSD.
Daniel F. Austin dalam tulisan yang berjudul ‘Water Spinach (Ipomoea aquatica, Convolvulaceae) A Food Gone Wild’ yang diterbitkan di jurnal Ethnobotany Research and Application (2007) menuturkan kangkung sudah dimanfaatkan manusia setidaknya sejak tahun 200 sebelum masehi. Di Asia, sayuran ini juga dipakai sebagai tanaman obat sejak tahun 300 masehi. Baca: Pasca Anestesi: Begini Menyadarkannya, Ada Halusinasi Seksual?
Austin menjelaskan selama berabad-abad kangkung digunakan sebagai pencahar untuk mengatasi masalah pencernaan. Di Myanmar, India, dan Indonesia kangkung dibuat jus untuk mengobati keracunan opium dan arsenik. Adapun di Afrika dan Sri Lanka, kangkung dianggap memiliki kandungan insulin sehingga sering juga digunakan sebagai obat diabetes.
Hal senada juga ditegaskan oleh Ben-Erik van Wyk—professor ahli botani dari University of Johannesberg Afrika Selatan. Dalam bukunya yang berjudul Food Plants of The World (2005), van Wyk menegaskan kangkung juga mengandung zat besi sehingga sangat baik bagi penderita anemia.