TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini Indonesia banyak dihebohkan dengan cerita tokoh publik dan sejumlah artis yang pamer hartanya masing-masing. Ada akun Instagram bernama Ajudan Pribadi dengan 1 juta pengikut memamerkan berbagai kegiatannya di jet pribadi. Ada pula artis Barbie Kumalasari, Nikita Mirzani, Billy Syahputra, yang memamerkan saldo rekeningnya. Selain mereka, Raffi Ahmad hingga Ria Ricis pun melakukan hal serupa.
Banyak yang mengaitkan aktivitas pamer tersebut sebagai gangguan kesehatan jiwa. Apakah benar aktivitas pamer terus menerus yang dilakukan seseorang ada kaitannya dengan kesehatan gangguan jiwa? Dokter kesehatan jiwa Rumah Sakit Awal Bros Bekasi Barat Alvina mengatakan perilaku memamerkan harta yang dilakukan tokoh publik belakangan ini belum tentu merupakan gangguan jiwa. Perlu evaluasi secara lengkap terlebih dahulu sebelum menyimpulkan atau menegakkan diagnosis gangguan jiwa tertentu. “Untuk kasus tokoh publik, bisa saja perilaku memamerkan harta adalah bagian dari pekerjaan mereka di dunia hiburan untuk meningkatkan popularitas mereka,” ujar Alvina dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 21 November 2019.
Bila sikap pamer seseorang dikaitkan dengan gangguan jiwa, tentunya perilaku tersebut akan disertai ciri-ciri lainnya seperti merasa diri yang paling penting; fantasi berlebih tentang kesuksesan, kekuatan, kepintaran, atau kecantikan; keyakinan bahwa dirinya unik, istimewa, dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang spesial tertentu; membutuhkan pengakuan berlebihan dan kurang empati; perilaku eksploitatif; iri pada orang lain atau yakin bahwa orang lain iri pada dirinya; serta adanya perilaku arogan dan nakal yang menetap dimulai pada masa dewasa muda. Jika ciri-ciri tersebut terdeteksi, maka ada kemungkinan seseorang mengalami gangguan kepribadian narsisistik.
“Narsisistik adalah gangguan kepribadian dimana seseorang menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi,” ujar Alvina. Untuk kebiasaan pamer yang termasuk gangguan kepribadian narsisistik, biasanya orang tersebut memiliki masalah dengan rasa kepercayaan diri dan rasa keberhargaan diri sehingga butuh untuk terus menerus mendapatkan pengakuan.
Tujuan seseorang melakukan tindakan-tindakan yang termasuk dalam gangguan kepribadian narsisistik adalah untuk memperoleh kepuasan pribadi walaupun bersifat sementara, untuk memiliki teman atau relasi walaupun bersifat sementara, dan agar dirinya dianggap penting atau istimewa. Dampak narsisistik terhadap diri seseorang adalah bisa muncul gangguan jiwa lainnya seperti gangguan mood ataupun muncul masalah dalam relasi. Gangguan narsisistik ini biasanya dilakukan berulang karena memang sudah bagian dari ciri-ciri kepribadiannya.
Biasanya, orang yang mengalami gangguan narsisistik dapat sembuh dengan cara dirinya akan menyadari ada yang salah bila berulang kali mengalami kegagalan dalam relasi. “Orang yang mengalami gangguan narsisistik cenderung tidak menyadari bahwa dirinya mengalami narsisistik sampai ia mengalami masalah relasi yang berulang,” ujar Alvina.
Cara penyembuhan orang yang mengalami narsisistik dapat dilakukan dengan cara melakukan terapi khusus gangguan kepribadian narsisistik. Terapi yang digunakan adalah dengan psikoterapi yang jangka waktunya biasanya cukup lama dan terapi dari gangguan jiwa lainnya bila diperlukan.
Biasanya, orang lain akan merasa kesal karena orang dengan gangguan narsisistik ini cenderung merasa selalu benar, merasa yang paling penting, dan lain sebagainya. “Kita bisa menyikapi mereka dengan tidak terlalu larut dalam beradu argumen atau kritik,” ujar Alvina. Bila seseorang yang mengalami gangguan narsisistik adalah orang yang dekat dengan kita, mungkin kita bisa menyarankan atau mengarahkan mereka dengan cara yang baik untuk datang berkonsultasi ke psikiater.
Ïntinya, kita harus lakukan evaluasi lengkap terlebih dahulu baru kita bisa membuat kesimpulan bahwa orang-orang tersebut mengalami gangguan jiwa atau tidak. Jangan terlalu cepat membuat kesimpulan bahwa semua yang tampak tidak biasa adalah seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Namun, jangan juga mengabaikan seseorang yang sudah merasa terganggu dan membutuhkan pertolongan profesional. “Hendaknya kita menjadi masyarakat yang suportif dan tidak menghakimi sehingga seseorang yang memang membutuhkan bantuan profesional tidak merasa malu untuk datang berkonsultasi,” ujar Alvina.