TEMPO.CO, Jakarta - Prevalensi remaja merokok di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, perokok dengan rentang usia 10-18 tahun ada sebanyak 7,2 persen.
Angka tersebut pun bertambah di tahun 2018 menjadi 9,1 persen. Padahal, dokter spesialis anak yang sekaligus pengurus pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Mayung Sambo mengatakan bahwa merokok adalah aktivitas yang sangat merugikan bagi kesehatan remaja.
Berbeda dengan orang dewasa, salah satu dampak buruk merokok pada remaja itu ialah rusaknya perkembangan otak mereka. “Karena perkembangan otak manusia terjadi dari masih berbentuk janin di perut ibu hingga usia 20 tahun,” katanya saat ditemui usai acara Media Gathering bersama Kementerian Kesehatan di Jakarta pada 15 Januari 2020.
Secara lebih spesifik, Mayung menyebutkan bagian otak yang terganggu akibat rokok itu adalah prefrontal cortex atau otak bagian depan, tepat di belakang dahi. Ia menjelaskan bahwa bagian otak ini berfungsi untuk berpikir, memecahkan masalah, mengontrol emosi hingga konsentrasi.
Bagian otak ini pula yang sangat membedakan antara manusia dengan hewan. “Ketika rokok dihisap, dia bisa masuk ke tubuh dan salah satunya prefrontal cortex. Ketika bagian ini terganggu, perkembangan otak tidak akan sempurna dan tidak ada yang bisa menyembuhkannya,” katanya.
Karena tidak bisa sembuh dan perkembangan otak terganggu, remaja pun akan kesulitan untuk mengambil keputusan hingga mengalami masalah psikologis. Untuk itu, Mayung berpesan agar orang tua bisa mencegah anak-anaknya agar tidak merokok. “Kita berikan contoh dengan tidak merokok dan mengedukasi mereka dengan bahaya merokok ini,” katanya.