Oleh karena itu, Plepah menggunakan pendekatan etnografi sebagai salah satu metode dalam mengumpulkan data, sebagai fondasi dalam memastikan keberlangsungan dampak yang diharapkan. Plepah mendorong metode Disruptive Design yang berfokus pada kemampuan berempati untuk menghasilkan pemahaman dan solusi yang berkelanjutan dan tepat guna.
Dalam perjalanannya, Plepah menemukan dan mempelajari potensi pelepah pinang untuk menjawab tantangan isu lingkungan. Program ini berdiri sejak tahun 2018.
Rengkuh menyebutkan, biasanya para petani punya 2-3 hektar kebun Pinang, bisa menghasilkan 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohonnya setiap hari. Setelah dikumpulkan kemudian masuk pabrik. Teknik pemrosesan sederhana, dibikin menjadi wadah makanan menggunakan alat cetak pemanas.
“Pertama disterilkan lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. Satu lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 biji,” kata Rengkuh.
Awalnya mereka hanya memproduksi 500 pcs per bulan sambil terus melakukan riset dan pengembangan produksi. Omset Plepah sudah miliaran rupiah dengan kapasitas produksi sempat mencapai 120.000 pcs per bulan dari 3 pabriknya yang tersebar.
Plepah dirintis dengan modal pribadi Rp 100 juta melalui entitas bisnis PT Jentera Garda Futura. Perusahaan ini didirikan oleh tiga orang yang memiliki latar belakang Desain Produk yaitu Almira Zulfikar, Fadhlan Makarim, dan Rengkuh Banyu Mahandaru. Ketiganya tergabung dalam Footloose Initiative, organisasi multidisiplin yang berfokus pada inovasi sosial dan lingkungan.
Pemrosean pencetakan pelepah Pinang menjadi wadah makanan setelah proses sterilisasi dengan sinar UV, di pabrik Plepah, Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dok: Plepah
Awalnya tertarik untuk untuk mengimplementasikan design thinking pada masyarakat. Ketika Itu tahun 2018, Badan Ekonomi Kreatif menugaskan mereka memberikan edukasi, pendampingan dan eksplorasi bersama pelaku kreatif di daerah-daerah Indonesia. Saat melakukan interaksi dengan masyarakat di daerah mereka menyadari ada banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan nilai-nilai lokal.
Mereka menggunakan pendekatan design thinking dan human centered design untuk menelisik dan mengatasi masalah sosial yang kompleks di seluruh sektor serta mengembangkan ide-ide inovatif untuk menghadirkan sebuah perubahan yang berkelanjutan. Salah satu hasilnya adalah pemberdayaan masyarakat di area konservasi melalui pengolahan produk non-kayu dan limbah agrikultur.
Yang membedakan profesi ketiganya dengan peran mereka di program ini adalah dalam proses pengembangan program/produk. Ketiganya mengikuti proses dari awal hingga akhir. Bukan hanya dalam proses mendesain, tetapi juga dalam tahap riset, pengembangan ide, produksi, hingga pemasaran walaupun masing-masing memiliki porsi tugas yang berbeda.
Di hulu Plepah menyajikan model bisnis berkelanjutan bagi BUMDes/Koperasi yang membantu perekonomian masyarakat melalui inovasi dari komoditas lokal. Sepanjang proses, Rengkuh dan tim menyatukan dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Salah satu yang memberikan dukungan secara langsung dalam bentuk fasilitas ialah Pemerintah Daerah Musi Banyuasin.