TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Endang Retno Wardhani menjelaskan komunikasi adalah faktor kunci dalam upaya membangun hubungan positif orang tua dan anak. Lulusan Universitas Padjadjaran itu mengatakan kepribadian dan cara anak menghadapi masalah antara lain dipengaruhi kebiasaan yang dibangun orang tua sejak dini.
"Komunikasi merupakan jembatan penghubung dalam membangun interaksi dan hubungan positif antara orang tua dan anak. Kebiasaan mendengarkan anak dan berdialog terbuka dapat membantu anak memiliki pengalaman positif dalam menyampaikan pendapatnya," kata psikolog yang biasa disapa Dhani itu.
Anggota Asosiasi Profesi Produktivitas Indonesia (APPRODI) itu mengatakan pentingnya orang tua membangun komunikasi positif dengan anak agar bisa saling memahami. Menurutnya, potensi konflik akibat perbedaan pandangan dalam keluarga bisa dikurangi kalau kebiasaan komunikasi positif sudah dibangun sejak dini.
"Perbedaan pandangan sangat mungkin namun kebiasaan yang dilakukan untuk terbuka mendiskusikan dan saling mendengarkan akan dapat mengatasi permasalahan tersebut," ujarnya.
Kunci membangun komunikasi
Kalau kebiasaan komunikasi positif sudah terbangun maka orang tua dan anak akan bersedia saling mendengar dan melihat satu masalah dari berbagai sudut pandang sehingga dapat saling menghargai.
"Kunci dalam membangun komunikasi timbal balik adalah membangun kebiasaan dari sedini mungkin untuk terbuka berkomunikasi dengan anak, berdialog, dan saling mendengarkan cerita, pandangan, ataupun berbagai pengalaman yang dialami anak, juga orang tua," papar Dhani.
Dia menyebut perbedaan pendapat antara anggota keluarga tak akan menjadi masalah kalau ada kemauan masing-masing anggota keluarga untuk berdialog dan mendengarkan penjelasan satu sama lain.
"Sesungguhnya perbedaan pendapat tidak masalah dalam keluarga. Namun membangun keterbukaan untuk saling memahami adalah penting, maka perlu membangun kebiasaan untuk melakukan problem resolution, yaitu penyelesaian masalah dengan berkomunikasi," jelasnya.
Pilihan Editor: IDAI Sebut Ajarkan Anak Bahasa Butuh Interaksi, Tak Cuma lewat Gawai