TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania mengusulkan para calon dokter mendapat pendidikan tentang obat herbal saat di bangku kuliah agar obat herbal hasil uji klinis bisa dipakai seluas-luasnya. Sebagai peneliti, ia menyayangkan banyak dokter atau calon dokter tidak mendapatkan pendidikan yang cukup di bangku kuliah atau pendidikan setelah lulus mengenai obat herbal.
“Bagaimana agar obat herbal yang sudah diuji klinis bisa dipakai dokter secara seluas-luasnya, misalnya dengan memberikan pendidikan yang sifatnya wajib kepada calon dokter maupun dokter tentang herbal,” kata Tania yang sempat menyampaikan usulan ini dalam rapat percepatan fitofarmaka bersama Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu. “Juga misalnya kami memberikan saran bagaimana panduan praktik klinis di fasilitas pelayanan kesehatan primer untuk lebih mengakomodir pemakaian obat-obat herbal secara formal.”
Pembahasan mengenai herbal dan uji klinisnya di Indonesia salah satunya mengemuka seiring pandemi COVID-19 yang memunculkan harapan herbal dapat digunakan sebagai obat terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar untuk penyakit akibat infeksi virus corona itu. Tania mengatakan hasil uji klinis tahap pertama yang sudah dilakukan belum terlalu meyakinkan. Walau begitu, setidaknya keamanan sudah bisa dipastikan.
Menurutnya, herbal sangat aman dan minimal efek samping atau bahkan tidak ada efek sampingnya. Hanya saja, untuk efektivitasnya masih memerlukan konfirmasi. Pada uji klinis tahap awal, peneliti baru bisa memastikan herbal memiliki sifat sebagai antiperadangan karena hasil uji melibatkan puluhan pasien memperlihatkan penurunan inflamasi. Namun, ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan subjek pasien yang lebih banyak lagi. Khasiat obat betul-betul bisa dikonfirmasi apabila diujikan pada ratusan hingga ribuan pasien.
Uji klinis lebih rumit
Mengenai tahapan uji klinis herbal sebenarnya jauh lebih rumit dan lebih panjang daripada penelitian obat konvensional. Tania mengatakan pada pengajuan obat konvensional atau kimia hanya terdiri dari satu zat kimia aktif saja. Sedangkan pada herbal melibatkan sejumlah hal seperti metabolit primer, misalnya karbohidrat, protein, dan lainnya, kemudian metabolit primer yang sifatnya mikro, misalnya vitamin, mineral. Lalu, ada juga zat aktif yang bisa terdiri dari ratusan hingga ribuan jenis dan zat inaktif.
Karena itu, upaya pembuktian, terutama khasiat herbal, relatif lama mengingat peneliti harus menapis-napis sekian banyak tahapan atau pertanyaan penelitian yang harus dijawab sehingga akhirnya bisa mengkonfirmasi khasiat tertentu dari suatu herbal. Penelitian dimulai dari pendahuluan, seperti penelitian fitokomia, in-vitro, praklinis pada hewan coba, penelitian klinis, hingga uji klinis yang metodenya paling tinggi bisa memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun.
Sementara untuk uji klinis yang berada paling hilir dari suatu penelitian tidak cukup hanya satu kali dilakukan sehingga dengan beberapa kali uji klinis bisa memakan waktu 5-10 tahun. Sementara jumlah uji klinis di Indonesia tergolong rendah dibanding negara lain di Asia Tenggara, yang akhirnya akan berdampak pada sedikitnya ditemukan obat di Indonesia. Ini salah satunya karena terhambat regulasi.
"Karena kalau regulasi di luar negeri, misalnya Thailand, Malaysia, itu lebih sederhana, jadi mungkin nanti Indonesia berproses ke arah sana supaya bisa mengejar ketinggalannya,” jelasnya.
Ia mencatat banyak persyaratan yang disamakan antara herbal dengan obat konvensional. Padahal, karena karakteristik herbal berbeda dengan obat konvensional seharusnya regulasi dibedakan. Walau begitu, Badan POM sedang mengkaji regulasi yang tepat atau sesuai sehingga bisa lebih memudahkan pelaksanaan uji klinis obat herbal.
Pilihan Editor: Minim Risiko, Begini Cara Menghilangkan Jerawat dengan Obat Herbal