TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis jantung Teuku Istia Muda Perdan, mengatakan gagal jantung bisa terjadi bila menghirup polutan mikroskopis di udara, yakni PM 2.5 indikator polusi udara.
"Ukurannya yang sangat kecil mampu menembus pembuluh darah dan menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah," kata dokter yang menyelesaikan pendidikan spesialis jantung dan pembuluh darah di Universitas Indonesia itu.
Istia menuturkan pada kondisi aterosklerosis atau adanya penumpukan lemak pada dinding dalam pembuluh darah arteri, polutan dalam tubuh dapat memicu terbentuknya zat radikal bebas yang berperan pada proses pembentukan plak di dinding pembuluh darah.
"Jika plak tersebut pecah maka dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, dan kematian," tutur dokter di RS Pondok Indah – Bintaro Jaya itu.
Polusi udara diketahui bertanggung jawab atas 25 persen kematian akibat penyakit kardiovaskular. Menurut Istia, itu berarti orang yang tinggal atau beraktivitas di perkotaan berisiko lebih besar mengalami gangguan kardiovaskular. Emisi karbon menyebabkan terjadinya percampuran udara dengan partikel amonia, karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida sehingga menjadi udara yang tidak layak untuk dihirup karena berbahaya terhadap kesehatan.
Penyakit kardiovaskular masih menjadi ancaman dunia sebagai penyebab kematian nomor satu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan tren peningkatan kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah di kalangan masyarakat Indonesia. Setidaknya, 15 dari 1.000 orang atau sekitar 2.784.064 orang di Indonesia menderita penyakit jantung.
Istia berpendapat masalah kardiovaskular akibat polusi udara bukan hanya berdampak terhadap individu tetapi juga kelompok masyarakat. Untuk itu, demi memastikan kualitas hidup yang lebih baik dan menurunkan beban ekonomi negara maka pencegahan penyakit jantung menjadi hal yang utama.
"Diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat untuk menurunkan angka risiko penyakit kardiovaskular," paparnya.
Perlu kesadaran masyrakat
Dia berpendapat penanganan yang serius untuk kasus gangguan kardiovaskular dapat dibuktikan dengan sikap dan intervensi ahli medis untuk mengatasi berbagai faktor risiko penyakit jantung sesuai dengan rekomendasi yang berlaku secara internasional. Kesiapan teknologi penunjang pemeriksaan dan tenaga medis yang kompeten turut meningkatkan keberhasilan proses pengobatan pasien.
Selain itu, kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini penyakit jantung juga perlu untuk mencegah kondisi semakin parah. Pemeriksaan kesehatan secara rutin menjadi salah satu cara untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyakit, tak terkecuali penyakit jantung.
Di sisi lain, beragam jenis penyakit jantung memerlukan tes dan cara deteksi yang berbeda karena kegunaan masing-masing. Pada kasus deteksi sumbatan jantung koroner, pemeriksaan dimulai dari treadmill stress test hingga CT-scan jantung. Sedangkan untuk skrining sudden cardiac death atau henti jantung mendadak yang disebabkan aritmia butuh pemeriksaan mulai dari rekam jantung atau EKG hingga holter monitoring.
Ada pula pemeriksaan USG jantung atau ekokardiografi yang merupakan standar pemeriksaan untuk struktur ruang-ruang jantung dan mendeteksi katup serta dinding jantung yang bocor, penebalan, dan pembengkakan pada jantung.
Pilihan Editor: Jangan Salah Bedakan Gejala Gagal Jantung dan GERD