TEMPO.CO, Jakarta - Kesehatan mental sering menjadi lawan terberat para atlet selain musuh sebenarnya di lapangan. Tak jarang, justru masalah mental dan psikologis ini yang mengalahkan olahragawan di arena, bukan lawan yang sesungguhnya.
Berat dan padatnya program latihan, rasa kesepian, dan dampak media sosial sering mempengaruhi kesehatan mental. Hal ini juga dirasakan oleh mantan petenis putri nomor satu dunia Naomi Osaka dan mantan megabintang renang Michael Phelps.
Menjelang partai final US Open 2023, turnamen tenis yang akan berakhir 10 September, Osaka membagi pengalamannya bertarung dengan masalah mental. Ia memuji langkah petenis putri nomor satu saat ini, Iga Swiatek, yang selalu didampingi oleh psikolog olahraga sebagai cara oke untuk menjaga kesehatan mental yang sangat penting bagi kiprah seorang atlet.
"Saya sudah melihat aspek mental sudah jauh lebih baik di tenis, saya sangat bangga karenanya, dan US Open juga sangat inovatif dalam hal ini," ujar Naomi Osaka, dikutip dari laman US Open.
Juara dua kali US Open asal Jepang itu pernah terpuruk karena masalah mental. Saat ini ia sedang tak aktif di tenis setelah melahirkan anak perempuan beberapa bulan lalu. Ia akan kembali ke lapangan di Australia Terbuka, Januari 2024, dan mengaku istirahat setahun dari tenis membuatnya semakin mencintai olahraga ini. Sebelumnya, ia pernah depresi karena tekanan besar sebagai atlet papan atas.
Michael Phelps. REUTERS/David Gray
Tekan kasus bunuh diri
Sementara itu, Michael Phelps pernah berjuang dengan kesehatan mental setelah Olimpiade 2004 dan terus menghadapinya untuk waktu lama. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari bantuan pada 2014 meski masih takut dengan stigma masyarakat terkait kesehatan mental.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi kesehatan mentalnya adalah menghubungi teman-temannya saat ia membutuhkan bantuan atau sekedar menghungi untuk mengetahui kabar mereka. Mantan perenang berusia 38 tahun ini juga tak lagi memendam masalahnya dan berusaha menyuarakannya lewat tulisan atau sekedar membicarakannya.
"Rasanya 10 tahun waktu yang lama tapi saya juga berpikir setiap orang butuh bantuan dan perhatian. Rasanya tak semua orang beruntung bisa mendapatkannya karena itulah angka kasus bunuh diri terus naik. Saya ingin menghentikannya. Misi nomor satu saya adalah berusaha menurunkan angka kasus tersebut. Menyelamatkan nyawa orang jauh lebih penting buat saya dibanding meraih emas Olimpiade," papar kolektor 23 medali emas Olimpiade itu, yang membuatnya dijuluki The Greatest Olympian Ever.
Pilihan Editor: Pesan IDAI agar Orang Tua Perhatikan Kesehatan Mental Anak