Menurut Acum, buku #Gilavinyl merupakan catatan perjalanannya dari awal tertarik membeli piringan hitam sampai menjadi kolektor, disc jockey, penyiar, dan musikus. Ia juga mewawancarai selebritas dan musikus seperti personel grup band Nidji, Andien, dan Aprilia Apsari “White Shoes”.
Dia mengimbuhkan, buku ini bisa menjadi referensi tentang kolektor piringan hitam.
Acum berujar, minat generasi muda terhadap media piringan hitam mulai marak sekitar 2013-2014.
Salah satu pendorongnya adalah acara Record Store Day yang digelar serempak di seluruh dunia. Biasanya, dalam perhelatan tersebut digelar penjualan album-album musik dalam format kaset, cakram, serta piringan hitam.
David Tarigan mengungkapkan, tren anak muda menyukai piringan hitam cenderung datar tahun ini. “Puncaknya dua atau tiga tahun lalu,” kata dia. Alasan itu didasari dari membludaknya pengunjung Record Store Day di Bara Futsal, Jakarta, dua tahun lalu.
Saat ini, ujar David, kebanyakan pencinta piringan hitam membeli lewat situs Internet dan media sosial seperti Instagram dan Facebook. “Penjualnya banyak di luar Jakarta, koleksinya bagus dan unik,” kata David yang juga tergabung dalam label rekaman DeMajors.
Ia sendiri termasuk orang yang suka membeli rekaman fisik lewat akun Instagram. Salah satunya Shadylane Records, yang bermarkas di Kota Mataram, Lombok. Pemilik akun Shadylane Records, Fajri Syafaat, 30 tahun mengatakan, pembeli piringan hitam umumnya berasal dari Pulau Jawa dan Bali. Setiap hari ia bisa menjual 15-20 keping piringan.
Dihubungi Selasa lalu ia menuturkan, koleksi piringan hitamnya sekitar 600 keping, CD 300 keping, dan kaset 250 buah. Ia juga mengimpor dari temannya di Jepang dan Inggris. “Sekarang saya lagi senang cari kaset lagu-lagu Indonesia,” kata dia. Seperti album Giant Steps dan album karya Benny Soebardja. Pada pertengahan Maret lalu, ia juga membeli album piringan hitam Philosophy Gang Harry Roesli yang diluncurkan oleh La Munai Records.
Selanjutnya: Bermula Dari Waldjinah