TEMPO.CO, Jakarta - Henti jantung bisa saja terjadi pada beberapa orang. Februari lalu, Asosiasi Jantung Amerika atau American Heart Association (AHA) menjelaskan beberapa faktor risiko terjadinya henti jantung mendadak. Faktor itu di antaranya kekuatan pompa jantung yang menurun, penyakit jantung koroner, riwayat serangan jantung sebelumnya, gagal jantung kongestif, dilated cardiomyopathy, gangguan irama jantung, dan beberapa kelainan kelistrikan jantung herediter. Faktor ini bisa dideteksi melalui beberapa pemeriksaan jantung mendasar, seperti EKG, ekokardiografi, tes treadmill, multislice ct scan jantung, studi kelistrikan jantung, dan kateterisasi jantung.
Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) BRM Ario Soeryo Kuncoro menyatakan orang di sekitar tak boleh panik ketika seseorang mengalami henti jantung mendadak. Setelahnya, pastikan bahwa jantung dan napas penderita benar-benar berhenti.
Baca: Ngunduh Mantu Bobby- Kahiyang Ayu, 10 Kerbau Akan Dipotong
Hal ini bertujuan agar pertolongan pertama yang diberikan tepat. Menurut Ario, kolaps atau pingsan yang menyebabkan seseorang tak sadarkan diri bisa menjadi gejala henti jantung. Indikasi lain gejala henti jantung adalah penderita tak merespons panggilan atau sentuhan seperti cubitan. Namun tidak semua orang kolaps disebabkan jantung berhenti. "Bisa juga kolaps karena epilepsi. Jadi pastikan henti jantung atau tidak," katanya seusai konferensi pers Enam Puluh Tahun Perki Mengabdi di Heart House, Jalan Katalia Raya Nomor 5, Kota Bambu Utara, Jakarta Barat, Jumat, 17 November 2017.
Bila jantung dan napas dipastikan berhenti, usahakan sirkulasi oksigen dalam tubuh penderita kembali lancar. Caranya, dengan memompa jantung atau kompresi.
Penolong dapat menaruh kedua tangan dan menekannya berulang kali di atas dada penderita. Hal ini penting dilakukan jika alat bantu oksigen belum tersedia. "Oksigen penting kalau ada. Tapi kalau tidak ada, yang dikerjakan itu dulu," ujarnya.
Ketika kompresi dilakukan, tempatkan penderita di lokasi yang baik. Berikan ruang kepada penderita dan penolong.
Baca: Jengkol Bisa jadi Burger, Sate, Siomay. Simak Kisahnya
Orang-orang yang datang hanya untuk menyaksikan tidak banyak membantu penderita. Biasanya, kata Ario, mereka hanya bergerombol untuk melihat apa yang terjadi. Langkah itu malah memperlama proses penyembuhan. "Karena kan kita kebiasaan ngumpul dan menonton saja. Itu tidak bisa membantu," ucapnya.
Sembari memberi pertolongan, carilah bantuan medis. Tindakan penting lain adalah memanggil pihak medis, seperti unit gawat darurat. Menurut Ario, kadang-kadang penolong lupa setelah jantung dan napas sudah terdeteksi, belum tentu penderita akan sadar. "Mungkin harus ada pertolongan infus dan lainnya," tuturnya.
PIPIT