Beberapa gejala AMD mirip disebutkan oleh kedua pasien Gita itu. Namun kata Gita, biasanya gejala AMD basah diawali seperti gejala pada AMD kering. "Namun pada awalnya berkembang bertahap tanpa rasa sakit. Semakin lama, perkembangannya akan semakin tiba-tiba dan cepat memburuk," kata Gita.
Biasanya pasien dengan AMD akan mengalami beberapa gejala, seperti distorsi visual artinya seperti garis lurus yang tampak bengkok. Mereka pun akan mengalami pengurangan penglihatan sentral pada satu atau kedua mata. Lalu pasien pun akan membutuhkan cahaya yang lebih terang saat membaca atau melakukan pekerjaan jarak dekat. Kemudian, pasien akan mengalami kesulitan saat beradaptasi dengan tingkat cahaya rendah, seperti memasuki restoran yang remang-remang.
Pasien juga akan mengalami kesulitan membaca kata-kata yang tercetak. Ada pula gejala penurunan melihat kecerahan warna. Lalu pasien juga akan semakin sulit mengenali wajah. Akan ada pula titik buram atau titik buta yang jelas dalam penglihatan. Lalu ada metamorphopsia, di mana garis lurus tampak bengkok atau bergelombang. Ciri lainnya adalah ada titik buta pada penglihatan sentral (central scotoma) yang akan terus membesar tanpa pengobatan yang tepat.
Dokter Spesialis Mata Konsultan RSCM, Gitalisa Andayani/Bayer
Gita menjelaskan pada AMD kering biasanya tidak mengakibatkan kehilangan penglihatan total, biasanya perawatannya dibantu dengan dukungan dan adaptasi gaya hidup dapat mempermudah mengatasi kehilangan penglihatan dan memaksimalkan penglihatan yang tersisa seperti menggunakan lensa pembantu. Namun bagi pasien AMD basah perlu lebih diperhatikan pengobatannya. AMD basah berpotensi mengalami komplikasi hingga kebutaan jika tidak ditangani dengan tepat.
"Salah satu yang menjadi kunci pengobatan adalah obat anti-VEGF. Pengobatan AMD eksudatif melibatkan pemberian agen anti-VEGF, seperti Aflibercept dan Ranibizumab, yang merupakan pilihan pengobatan yang efektif untuk pasien dengan AMD eksudatif," kata Gita.
Anti-vascular endothelial growth factor medication (Anti-VEGF) adalah bahan kimia yang berkontribusi pada pembentukan pembuluh darah baru di mata orang dengan yang mengalami wet AMD. Obat anti-VEGF memblokir bahan kimia ini sehingga tidak dapat menghasilkan pembuluh darah lagi. Anestesi diterapkan, dan kemudian dokter menyuntikkan obat ke mata dengan jarum yang sangat halus. Perawatan seperti ini harus dilakukan secara rutin dalam interval waktu tertentu. "Dia juga rangsang pertumbuhan jaringan," kata Gita.
Dalam beberapa kasus, pengobatan anti-VEGF telah memulihkan beberapa penglihatan, tetapi ini tergantung pada individu dan gejala yang mereka miliki. Perawatan anti-VEGF biasanya tidak memiliki efek samping, tetapi rasa sakit, bengkak, kemerahan, dan penglihatan kabur dapat terjadi setelah suntikan.
"Masalahnya adalah banyak pasien enggan matanya disuntik dengan anti-VEGF. Alasannya beragam dari mulai takut matanya disuntik hingga memiliki ekonomi terbatas. Pandemi ini pun semakin memperparah proses pengobatan penyakit AMD ini karena orang takut datang ke rumah sakit," kata Gita.
Benar saja, Emil Salim sempat takut ketika disarankan dokter untuk disuntik matanya. "Kaget, katanya (dokter) mata ditusuk. Kami seisi rumah panik semua," kata Emil yang awalnya menolak mendapatkan pengobatan itu. Tapi akhirnya ia pun luluh ketika cucunya melahirkan. "Saya ingin melihat cicit saya," katanya.
Edwin lain lagi, ia lebih pasrah mendengar apapun saran dokter. "Tujuan saya buat sembuh," katanya.
Gita menambahkan bahwa pengobatan AMD ini perlu dilakukan secara berkala hingga bertahun-tahun lamanya. Pasien biasanya akan disuntik setiap bulan sekali selama 3 bulan awal. Lalu, pasien perlu melakukan kontrol secara berkala. "Penyakit ini persentase kambuhnya sangat tinggi. Makanya harus kontrol terus," kata Gita.
Ada beberapa faktor risiko pasien akan mengalami AMD. Usia menjadi faktor risiko utama. Sepertiga orang dewasa di atas 75 tahun mengalami AMD. Orang yang merokok bisa meningkatkan peluang terkena AMD 2-5 kali lipat. "Karena retina memiliki tingkat konsumsi oksigen yang tinggi, apa pun yang mempengaruhi pengiriman oksigen ke retina dapat mempengaruhi penglihatan. Merokok menyebabkan kerusakan oksidatif, yang dapat berkontribusi pada perkembangan dan perkembangan penyakit ini.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) Pusat M. Sidik/Bayer
Bila seseorang memiliki riwayat keluarga AMD, maka peluang terkena penyakit itu pun akan semakin besar. Biasanya, perempuan lebih mungkin terkena AMD daripada laki-laki. Faktor ini mungkin karena perempuan hidup lebih lama dari laki-laki, dan dengan demikian memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan penyakit. Dari segi ras, kaukasia lebih mungkin terkena AMD daripada ras lain karena faktor genetik atau pigmentasi. Paparan sinar matahari berkepanjangan juga dapat merusak retina dan meningkatkan risiko AMD.
Gaya hidup yang tinggi lemak, kolesterol dan makanan indeks glikemik tinggi, dan rendah antioksidan dan sayuran berdaun hijau juga lebih mungkin untuk terkena AMD. Pasien dengan obesitas dan tidak aktif bergerak juga berisiko terkena penyakit mata ini. Tekanan darah tinggi bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang memberi nutrisi pada retina. Sehingga orang dengan tekanan darah tinggi bisa membatasi aliran oksigen ke retina yang mengakibatkan peluang terkena penyakit itu juga semakin tinggi. Penyakit AMD, yang dialami pada salah satu mata, juga bisa berkembang di mata yang lain.
Prevalensi AMD tahap awal di seluruh dunia pada pasien antara 45 dan 85 tahun adalah 8 persen dan AMD tahap lanjut adalah 0,4 persen. Hampir 288 juta orang diperkirakan memiliki AMD pada tahun 2040. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang mengalami gangguan penglihatan terbanyak selain Cina, India, Pakistan, dan Amerika Serikat, perlu memberikan perhatian lebih atas penyakit AMD ini.